Taktik Industri Asuransi Menyasar Pasar Milenial

ANTARA FOTO/Audy Alwi
Pembayaran premi asuransi jiwa Allianz melalui gerai Indomaret di Jakarta.
Penulis: Desy Setyowati
28/8/2018, 06.00 WIB

Saat ini, jenis produk asuransi sudah makin luas. Namun industri keuangan yang syarat akan teknologi tersebut rupanya mesti mempercepat langkah agar tak tertinggal dari laju perubahan di era digital, massa yang banyak diwarnai kalangan milenial. Tak heran bila sejumlah korporasi mulai beramai-ramai masuk perusahaan yang menawarkan perpaduan asuransi dan teknologi.

Pekan lalu, tiga perusahaan unicorn Tanah Air, yakni Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka, resmi menyuntikkan modal ke perusahaan penyedia jasa teknologi asuransi (Insurtech) PT PasarPolis Indonesia. Hal ini menjadi sinyal besarnya ceruk pasar asuransi yang menyasar segmen milenial yang mengedepankan keringkasan dalam memenuhi kebutuhan mereka.

(Baca juga: Gaya Hidup Milenial Jadi Ladang Subur Startup Pariwisata)

PasarPolis memang berfokus menyajikan produk “asuransi sesuai kebutuhan” (tailor-made) mitra. Misalnya, PasarPolis menyediakan asuransi keterlambatan keberangkatan hingga perubahan jadwal, hasil bermitra dengan Traveloka dan PT Citilink Indonesia. Lalu dengan Tokopedia dan e-commerce lainnya, tersedia asuransi perlindungan barang.

Selain karena sudah ada pasarnya, pengemasan produk tailor-made yang sederhana dan dipasarkan lewat digital membuatnya lebih mudah diterima masyarakat. “Kami lihat produk normal tidak cocok didigitalisasi. Jadi kami membuat produk baru?” kata Chief Operating Officer (COO) PasarPolis Christopher Kustono, beberapa waktu lalu (10/8).

Salah satu produk yang paling diminati adalah asuransi perjalanan, segmen bisnis yang sedang naik daun. Data Direktorat Jenderal Imigrasi memang menunjukan bahwa jumlah warga negara Indonesia yang ke luar negeri terus meningkat, misalnya 8,4 juta orang pada 2016 naik menjadi 9,1 juta pada tahun lalu.

Dan bila ditilik lebih dalam, sebagian besar para pelancong tersebut dari generasi milenial berusia 20-34 tahun, mereka yang dalam data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional jumlahnya bisa mencapai 90 juta orang. Karena itulah industri asuransi mau tak mau  beradaptasi dengan kebutuhan konsumen agar penetrasinya terus tumbuh.

Hal tersebut diakui Tommy Jenie. Menurut Vice President Digital Marketing dan E-Commerce FWD Life ini, produk asuransi mulai berubah guna menyesuaikan diri dengan karakter pasar baru. “Milenial tidak ingin berkomitmen, sehingga produk diubah dan dikembangkan,” kata Tommy. Ia mencontohkan, produk Bebas Aksi Flash dirancang sekali pakai untuk jangka waktu seminggu, sebulan, dan tiga bulan guna menyasar generasi ini.

Bandingkan dengan produk konvensional sebelumnya yang mengharuskan pembayaran premi dalam rentang panjang. Sebagai misal yakni asuransi jiwa dan kesehatan yang periode waktunya hingga sepuluh tahun. Ini di antara produk yang paling banyak digunakan oleh kalangan “mapan” selain asuransi pendidikan, dana pensiun, asuransi kendaraan, dan asuransi properti.  

inovasi digital (123rf.com)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody AS Dalimunthe menyatakan segmen milenial menjadi tantangan bagi industri asuransi. Sebab, segmen ini mahir menggunakan teknologi sehingga perusahaan harus menciptakan produk yang sesuai dengan mereka. “Segmen ini tumbuh pesat,” ujar Dody kepada Katadata.co.id, Selasa (21/8).

Ia menyebutkan ada tiga jenis teknologi yang sudah dimanfaatkan di industri ini. Pertama, distribusi pemasaran secara online seperti e-commerce atau membuat aplikasi sendiri. Apalagi, data Dewan Asuransi Indonesia (DAI) menunjukan pemasaran asuransi lewat digital meningkat 110 % sepanjang 2013-2016.

Contohnya, PT Erbe Broker Asuransi Indonesia meluncurkan aplikasi digital untuk pemasaran produk. Sequis juga meluncurkan Sequis eZ yaitu sistem aplikasi multi platform untuk pemasaran dan Sequis Online yang menawarkan produk sederhana pada 2016. Bahkan, PT Commonwealth Life menggandeng aplikasi mobile financial services dari PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), TCash, untuk memasarkan produknya. 

Kedua, teknologi yang mampu mengonsolidasikan faktor underwriting asuransi menjadi formula alogaritma dan big data guna mempercepat pembuatan polis. Misalnya, PT Asuransi Adira Dinamika (Adira Insurance) meluncurkan Autocillin Mobile Claim pada 2015. Melalui aplikasi itu, klaim oleh pemegang polis dilakukan secara digital.

Lalu, PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (Allianz Utama) juga menghadirkan Allianz eAZy Payment atau layanan pembayaran premi asuransi jiwa secara online. Kemudian, Sequis juga merilis PolisQ, aplikasi berbasis android dan IOS untuk memudahkan nasabah mengontrol polis, perubahan data, pembayaran premi, hingga pengajuan klaim 2018.

Ketiga, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) guna memudahkan calon nasabah asuransi dalam memilih produk. “Untuk AI masih dalam tahap pengembangan. Setahu saya masih sedikit yang akan mencoba, karena terkait pembiayaan,” ujarnya.

Dengan mengadopsi teknologi tersebut, AAUI memprediksi pertumbuhan premi secara konservatif bisa mencapai 10 % hingga akhir tahun ini. Selain karena teknologi, pertumbuhan juga ditopang oleh laju ekonomi yang stabil. (Baca pula: Lindungi Konsumen, OJK Siapkan Aturan Inovasi Keuangan Digital).

Hanya saja, ia mencatat ada beberapa regulasi yang membuat industri ini sulit mengadopsi teknologi. Di antaranya, ikhtisar polis dalam bentuk cetak, tanda tangan basah pada polis, dan diberlakukannya materi tempel. “Beberapa opsi industri asuransi menghadapi era teknologi telah kami sampaikan dan rekomendasikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” kata Dody.

Terkait hal ini, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi mengatakan perlu kajian mendalam bila ingin menerapkan insurtech atau mengadopsi teknologi 100 % di industri ini. “Kalau belakangan hari ada dispute, klaimnya bagaimana,” ujar dia. “Perlindungan konsumen dan perusahaannya seperti apa? Saat ke pengadilan kan semua sudah harus common.”

Hanya, ia menegaskan tidak alergi dengan teknologi di industri ini. Untuk produk asuransi sederhana seperti perjalanan ataupun perlindungan barang, menurutnya bisa didigitalisasi. Saat ini, OJK pun tengah menyusun aturan yang memungkinkan industri asuransi mengadopsi teknologi walau belum tentu selesai tahun ini.