INDEF: 81% Pengemudi Ojek Online Pernah Jadi Korban Order Fiktif

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Sejumlah pengemudi ojek berdemo di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (27/3/2018)
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
7/6/2018, 18.57 WIB

Survei Indef melibatkan 516 mitra pengemudi (roda dua dan roda empat) Go-Jek dan Grab, pada 16 April-16 Mei 2018 di Jakarta, Bogor, Semarang, Bandung dan Yogyakarta. Metode survei yang digunakan adalah non-probability atau convinient sampling.

Dosen Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Erita Narhetali mengatakan, insentif yang berbasis uang memang menjadi alasan pengemudi ataupun pekerja berbuat curang. "Perusahaan harus punya cara atau insentif lain yang non moneter. Bisa juga dibuat insentif per kelompok," kata dia.

(Baca juga: Valuasi Go-Jek Dekati Grab yang Telah Beroperasi di 8 Negara)

Sementara, Head of Public Affairs Grab Indonesia Tri Sukma Anreianno menyatakan, kecurangan oleh pengemudi mitranya menurun 80% dibanding tahun lalu. Alasannya, karena Grab Indonesia menerapkan dua strategi yakni teknologi dan program.

Dari segi teknologi, Grab mengembangkan teknologi yang tertanam di setiap aplikasi yang diunduh oleh pengemudi. Teknologi ini akan mempersulit pengemudi berbuat curang seperti order fiktif atau lokasi palsu (fake GPS), karena menggunakan sistem terintegrasi. 

Lalu dari sisi program, Grab Indonesia menerapkan penghargaan kepada konsumen ataupun mitra yang melaporkan kecurangan atau dikenal dengan whistleblower. "Kami sudah dapat 9 ribu masukan, informasi, dan tips," kata Tri. Dari laporan itu, Grab sudah melaporkan 10 sindikat pembuat sistem kecurangan ke kepolisian.

Sementara, hingga laporan ini diturunkan, perwakilan Go-Jek belum memberikan tanggapan atas temuan Indef.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati