Kementerian Perhubungan berencana mengontrol tarif aplikasi transportasi roda empat seperti Uber dan Grab Car. Kewenangan ini tertuang dalam Pasal 41 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, yang akan mulai berlaku 1 Oktober mendatang.
Dalam beleid nomor dua dan tiga pasal tersebut disebutkan, perusahaan penyedia jasa aplikasi teknologi informasi (TI) dilarang bertindak sebagai penyelenggara angkutan umum yang menetapkan tarif dan memungut bayaran. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Pudji Hartanto mengatakan, penetapan tarif harus sesuai dengan kesepakatan dan mendapatkan persetujuan pemerintah atau kembali mengacu kepada Pasal 151 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas.
"Paling tidak dia harus mendapat persetujuan pemerintah karena aturan tarif itu yang mengeluarkan pemerintah," kata Pudji saat konferensi pers di kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (22/4). Beberapa poin persetujuan pemerintah itu antara lain kepastian jarak tempuh dan tarif atas serta bawah dari moda transportasi tersebut.
Pudji menyatakan, kebijakan ini dibuat bukan untuk memberangus sejumlah aplikasi transportasi online, melainkan memberi kepastian hukum atas keberadaan Uber dan Grab. Selain itu, jasa transportasi online akan dibebani tarif Pajak Penghasilan (PPh) 21 sebesar 10 persen. "Kami fasilitasi agar mereka berjalan dengan benar, dan agar tidak ada yang iri," ujarnya. (Baca: Belum Berizin, Uber dan Grab Boleh Jalan tapi Dilarang Ekspansi)
Selain itu, Pudji menjelaskan, aturan anyar ini mewajibkan pemilik kendaraan Uber dan Grab memiliki pool seperti perusahaan angkutan umum lainnya. Pool yang dimaksud ini tidak harus sebuah pool yang luas layaknya tempat parkir untuk taksi, tetapi suatu tempat memarkir kendaraan berapapun ukurannya. "Jadi garasi pun bisa asal dia bisa parkir dan tidak mengganggu parkir orang lain," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah akan menyiapkan aturan pendukung untuk moda transportasi roda dua sejenis ojek. Moda ini memang belum masuk dalam Peraturan Menteri Perhubungan tersebut. Pudji mengungkapkan pengalamannya saat menjabat Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat. Dalam masa jabatannya sejak tahun 2015 hingga awal bulan ini, dia pernah menghadapi persoalan becak motor yang tidak memiliki payung hukum. "Dalam perkembangannya bisa kami arahkan ke situ (payung hukum untuk ojek)." (Baca: Grab dan Uber Diminta Gandeng Operator Resmi)
Di kesempatan yang sama, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan evaluasi perizinan kedua aplikasi tersebut dilakukan satu kali dalam sepekan. Ia mencatat baru 375 armada yang memenuhi izin operasi dari total 5.000 armada Grab. Sementara itu, perizinan seluruh armada Uber yang berjumlah 8.000 unit sudah rampung diurus. Ada empat perizinan yang harus dipenuhi, antara lain izin operasi, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), kepemilikan pool, serta perawatan rutin. "Batas mengeluarkan izinnya masih tanggal 31 Mei mendatang," katanya.
(Baca: Ada 3 Masalah, Jonan Minta Kominfo Blokir Uber dan Grab Car)
Sebelumnya, Uber dan Grab Car mendapat cap ilegal karena tidak termasuk dalam kategori angkutan penumpang. Ketentuan ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan. Berdasarkan UU tersebut, hanya taksi dan mobil sewaan yang merupakan angkutan penumpang tanpa trayek.
Meski ilegal, Kementerian Perhubungan tidak memiliki kewenangan memblokir aplikasi layanan online untuk angkutan transportasi. Kementerian hanya bisa memberi masa transisi bagi Uber dan Grab Indonesia untuk memenuhi dan mengikuti aturan yang berlaku. Selama masa transisi hingga 31 Mei mendatang, status quo diberlakukan bagi para penyedia layanan transportasi ini. Jadi, mereka tidak boleh menambah armada namun tetap boleh beroperasi kalau armadanya sudah terdaftar.