Perusahaan penyedia layanan berbagi tumpangan (ride hailing) Uber melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 3.000 karyawannya saat pandemi corona. Salah satu penyebabnya, bisnis transportasi mereka anjlok 80% selama pandemi.
Padahal, mantan pesaing Gojek dan Grab ini sudah memberhentikan 3.700 karyawannya pekan lalu. "Saya harus membuat keputusan yang sulit. Bukan untuk melindungi atau untuk menyenangkan investor kami," kata CEO Uber Dara Khosrowsahi dikutip dari TechCrunch, Senin (18/5).
Perusahaan tidak ingin bergantung pada modal baru atau investor di tengah pandemi virus corona. Karena itu, Uber berfokus menjaga kas.
Pegawai yang di-PHK berasal dari beberapa divisi. Dua di antaranya unit pengangkutan dan kendaraan otonom. (Baca: Ditaksir Bernilai Rp 27,5 T, KPPU Minta Grab Laporkan Akuisisi Uber)
Bukan hanya melakukan PHK, Uber juga menutup 45 kantornya. Uber mengaku akan tetap memberikan pesangon dan tunjangan hingga US$ 145 juta atau Rp 2,2 triliun kepada karyawannya.
Secara global, Uber mempekerjakan 28.600 karyawan di Amerika Serikat (AS) dan 16.200 karyawan di luar AS. (Baca: Orderan Sepi, 20% Pengemudi Ojek Online Pilih Pulang Kampung)
Dikutip dari The Verge, perusahaan pun tercatat membukukan kerugian bersih US$ 2,9 miliar pada awal tahun ini. Salah satu penyebabnya, karena permintaan layanan transportasinya anjlok akibat pandemi Covid-19.
Meski begitu, layanan pengiriman makanan (food delivery) mereka meningkat 52% pada kuartal pertama tahun ini. Total transaksi di Uber Eats mencapai US$ 4,68 miliar dalam tiga bulan pertama 2020.
"Sementara ini, pertumbuhan Eats semakin cepat. Tapi bisnis itu tidak menutup pengeluaran kami," kata Khosrowshahi. (Baca: Jurus Efisiensi Startup di Masa Pandemi: Pangkas Gaji hingga Karyawan)
Selain Uber, startup lain yang didanai SoftBank yakni OYO memberhentikan karyawan. Sejak awal tahun ini, OYO telah melakukan PHK kepada 7.000 lebih karyawan secara global.