Karyawan Facebook mengkritik keputusan CEO Mark Zuckerberg untuk tidak menghapus unggahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait demonstrasi atas kematian George Floyd. Mereka justru memuji langkah pesaingnya, Twitter yang menyembunyikan cuitan Trump.
Reuters melaporkan, tiga dari tujuh pegawai yang mengkritik Zuckerberg secara terbuka menjabat posisi manajer senior. “Mark salah, dan saya akan berusaha keras untuk mengubah pikirannya," tulis Ryan Freitas, melalui akun Twitter-nya dikutip dari Reuters, Senin (1/6).
Dalam profil akunnya, Freitas menyebutkan bahwa ia menjabat sebagai direktur desain produk untuk news feed Facebook. Ia mengaku, sudah mengajak 50 orang lebih untuk mendorong adanya perubahan atas kebijakan perusahaan.
Jason Toff, yang diidentifikasi sebagai direktur manajemen produk Facebook juga mengkritik kebijakan Zuckerberg. "Saya bekerja di Facebook dan tidak bangga dengan bagaimana kami muncul. Mayoritas rekan kerja yang saya ajak bicara merasakan hal yang sama,” katanya.
(Baca: Twitter Sembunyikan Kicauan Trump soal Pembunuhan George Floyd)
Toff pun menggalang dana untuk membantu pengunjuk rasa di Minnesota. Melalui unggahan di Facebook, Zuckerberg menyatakan bahwa perusahaan akan menyumbang US$ 10 juta untuk tujuan keadilan sosial.
Hanya, Facebook tidak segera menanggapi permintaan komentar terkait perbedaan pendapat karyawan.
Desain manager Facebook Jason Stirman mengeluhkan hal serupa. “Saya tidak tahu harus berbuat apa, tetapi saya tahu, tidak melakukan apa-apa tak dapat diterima. Saya karyawan Facebook yang sepenuhnya tidak setuju dengan keputusan Mark untuk tidak melakukan apa-apa tentang kebijakan Trump baru-baru ini, yang jelas memicu kekerasan," ujar dia melalui akun Twitter-nya, dikutip dari Forbes.
(Baca: 25 Kota di AS Berlakukan Jam Malam Akibat Meluasnya Kerusuhan)
Product designer Zara Zhang juga mengkritik kebijakan Zuckerberg. Ia mengatakan, para pegawai sudah menyampaikan kritikan ini secara internal, tetapi tidak berhasil.
Beberapa pegawai Facebook bahkan memuji langkah Twitter yang menyembunyikan cuitan Trump terkait kerusuhan atas kematian warga kulit hitam, George Floyd. "Menghormati integritas tim Twitter yang terpanggil menegakan hukum," tulis David Gillis, yang diidentifikasi sebagai direktur desain produk Facebook.
Ia menjelaskan bahwa dia memahami logika keputusan Facebook. Akan tetapi, "saya pikir itu tepat bagi kita untuk membuat 'semangat kebijakan' pengecualian yang mempertimbangkan lebih banyak konteks,” katanya.
(Baca: Makin Panas, Facebook dan Twitter Lawan Trump soal Aturan Media Sosial)
Manajer Facebook lainnya Andrew Crow menilai, kebijakan membiarkan cuitan yang menghasut kekerasan dan menyebarkan disinformasi tak bisa diterima. “Terlepas dari siapa Anda atau apakah itu layak diberitakan,” ujar dia.
Trump Dikabarkan Telepon Zuckerberg
Sumber CNBC Internasional mengatakan, Trump menelepon Zuckerberg terkait ketegangan dengan beberapa perusahaan pengembang platform media sosial. Namun, juru bicara Gedung Putih dan Facebook menolak berkomentar mengenai hal ini.
Sebagaimana diketahui, sebelum menyembunyikan cuitan Trump, Twitter sempat melakukan cek fakta atas unggahan presiden AS itu. Alhasil, Trump menandatangani executive order dan ingin mengubah pasal atau section 230 pada Undang-undang Keterbukaan Komunikasi.
Section 230 mengatur tentang perlindungan kepada perusahaan media sosial dari tanggung jawab atas konten yang diunggah oleh penggunanya. (Baca: Trump Tawarkan Bantuan Militer untuk Redam Kerusuhan di Minnesota)
Cuitan Trump yang disembunyikan oleh Twitter berbunyi, “Para preman ini tak menghormati kenangan akan George Floyd, dan saya tidak akan membiarkan itu terjadi.” Kalimat lanjutannya, "Saat penjarahan terjadi, penembakan akan dimulai," ditandai dengan label glorifikasi kekerasan. Facebook memilih untuk tak mengikuti langkah Twitter.
Zuckerberg melalui pernyataan resminya mengaku sangat tidak setuju dengan Trump. “Tetapi saya percaya, orang harus dapat melihat ini untuk diri mereka sendiri. Sebab, pada akhirnya, pertanggungjawaban bagi mereka yang berada di posisi kekuasaan, hanya dapat terjadi ketika pidatonya dicermati secara terbuka," kata dia, dikutip dari CNBC Internasional.
Ia menambahkan bahwa kebijakan Facebook mengenai unggahan yang memuat hasutan kekerasan memungkinkan adanya diskusi seputar penggunaan kekuasaan. “Meskipun saya pikir, situasi saat ini menimbulkan pertanyaan penting tentang batas potensial dari diskusi itu,” katanya.
(Baca: Kematian George Floyd Berujung Kerusuhan di New York hingga Washington)