Pemerintah Indonesia akan menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) transaksi barang dan jasa tak berwujud oleh pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) asing sebesar 10% mulai 1 Juli. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 tahun 2020 yang terbit 5 Mei lalu yang menjadi turunan Pasal 6 Perppu Nomor 1 2020.
Pasal 2 ayat (2) PMK 48/2020 menyatakan, pelaku usaha PMSE luar negeri akan ditunjuk oleh menteri. Sementara kriteria pelaku usaha PMSE asing yang akan ditunjuk sebagai pemungut PPN digital tertuang dalam Pasal 4, yakni nilai transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa di Indonesia dan jumlah trafik atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan. Jumlah tertentu yang dimaksud akan ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
“Segera setelah aturan ini mulai berlaku yaitu 1 Juli 2020, Dirjen Pajak akan mengumumkan kriteria usaha yang wajib memungut PPN dan daftar pelaku usaha yang ditunjuk,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Hestu Yoga Saksama melalui keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id pada 30 Mei lalu.
(Baca: Asosiasi E-Commerce Dukung PPN 10% Pada Transaksi Digital)
Namun, sebelum aturan ini berlaku sudah terancam diganjal Amerika Serikat (AS). Wakil Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lightitzer, kemarin (3/6) menyatakan pemerintah Paman Sam akan melakukan penyelidikan penerapan pajak digital di 10 wilayah yuridiksi, termasuk Indonesia.
Robert menyatakan, penyelidikan dilakukan karena Presiden AS Donald Trump khawatir peraturan pajak digital di 10 wilayah tersebut akan merembet ke mitra dagang lain dan mendiskriminasi perusahaan digital asal AS.
“Kami siap mengambil semua tindakan untuk membela kepentingan bisnis dan kepentingan kami dari diskriminasi semacam itu,” kata Robert melansir Reuters.
Wilayah selain Indonesia yang sedang diselidiki adalah Austria, Brazil, Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Spanyol, Turki, dan Inggris. USTR pun telah mengirim delegasi untuk berbicara dengan pemangku kebijakan di seluruh wilayah itu. Nantinya, pemerintah AS akan menimbang dan memutuskan perlakuan wilayah mana yang tergolong diskriminasi.
(Baca: Soal Pajak Streaming Film: Goplay Setuju, iFlix Tunggu Kantor Pusat)
Bagaimana Pajak Digital di Negara Lain?
Melansir laporan dalam situs resmi konsultan pajak KPMG, Austria menetapkan pajak digital sebesar 5% atas omzet layanan iklan yang diberikan penyedia layanan di sana mulai 1 Januari lalu. Pembayaran pajak digital bulanan dilakukan pada hari ke-15 bulan kedua setelah bulan subjek. Misalnya, pembayaran pajak digital untuk Januari 2020 akan jatuh tempo pada pertengahan Maret 2020.
Penyedia layanan digital yang menjadi subjek pajak adalah kelompok perusahaan yang memiliki omzet € 750 juta secara global dan omzet dari layanan iklan digital sebesar € 25 juta dari anak perusahaan di Austria. Namun, setiap perusahaan bisa dikualifikasikan sebagai subjek pajak digital.
Aturan lain adalah, perusahaan yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Uni Eropa harus menunjuk perwakilan fiskal Austria untuk keperluan pajak digital. Sementara bagi yang memiliki bentuk usaha tetap di Uni Eropa dapat menunjuk perwakilan fiskal atau menggunakan layanan daring dari otoritas pajak untuk mengembalikan pajak.
Selanjutnya, pemerintah Spanyol mulai 18 Februari telah menyetujui pemungutan pajak digital sebesar 3%. Secara umum aturan ini menetapkan subjek pajak adalah penyedia layanan digital yang memperoleh pendapatan dari pengguna di Spanyol. Hal ini membuat penetapan PPN bagi setiap transaksi digital.
Kriteria khusus penyedia layanan bisa ditetapkan sebagai subjek pajak adalah memiliki pendapatan sebesar € 750 juta secara global dan pendapatan sebesar € 3 juta di Spanyol. Selain itu, mereka tergolong sebagai penyedia iklan digital, peneyedia layanan data, dan penyedia layanan perantara pertemuan antar muka digital atau intermediary service.
Sama dengan Spanyol, Perancis menetapkan pajak layanan digital sebesar 3%. Namun negara yang dipimpin Presiden Emmanuel Macron ini lebih dulu menetapkannya, yakni mulai 1 Januari 2019. Pajak akan dikenakan untuk penyedia layanan intermediary dan penyedia layanan iklan digital. Dikecualikan untuk penyedia layanan konten digital, layanan komunikasi, dan layanan pembayaran yang memenuhi syarat dalam Pasal 314-1 peraturan moneter Perancis.
Pajak ini dikenakan kepada perusahaan domestik maupun asing yang mengambil manfaat dari pengguna Perancis. Kriteria khususnya adalah yang memiliki omzet € 750 juta secara global dan omzet € 25 juta di Perancis. Setidaknya 30 perusahaan digital multinasional terdampak kebijakan ini. 17 perusahaan di antaranya adalah berbasis di AS.
(Baca: Mengincar Pajak dari Streaming Video dan Musik)
Pemerintah Tak Perlu Khawatirkan AS
Terkait penyelidikan oleh USTR, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum mau menanggapinya. “Nanti yang jadi headline malah pajak digital,” kata dia, Rabu (3/6) dalam konferensi pers melalui video conference usai ratas kabinet di Istana negara.
Namun, Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai pernyataan USTR tak perlu dirisaukan karena tak berkaitan dengan PPN digital. “Beda kasus itu, PMK 48 terkait PPN. USTR tadi terkait PPh/PTE,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).
Senada, Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyatakan PPN digital yang diterapkan pemerintah untuk pelaku PMSE asing tak berpotensi diskriminatif. Pasalnya telah terdapat konsensus global bahwa dalam transaksi lintas yuridiksi, negara lokasi dikonsumsinya barang atau jasa berhak memungut PPN.
“Prinsip ini dikenal dengan destination,” kata Bawono kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).
Bawono menjelaskan, kekhawatiran AS atas diskriminasi karena sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang PPh digital yang adil. Hal ini mendorong negara-negara melakukan kebijakan sepihak atau unilateral melalui digital service tax (DST). Umumnya DST hanya dikenakan bagi perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto di atas nilai tertentu dan banyak perusahaan AS.
PMK 48/2020 menurut Bawono telah dibuat dengan baik dari sisi pengaturan mendasar atas pemungutan PPN, bai katas objek, subjek, saat terutang, tarif, hingga kewajiban rekapitulasi data. Dari sisi administrasi pun telah diatur akan berada di bawah KPP Badan dan Orang Asing yang telah mempunyai dasar hukum melalui Perdirjen Pajak Nomor Per-07/PJ/2020.
(Baca: Netflix dan Viu Respons Soal Streaming Film Dipungut Pajak Mulai Juli)