Investor Gojek, Northstar Group menilai perang harga termasuk ‘bakar uang’ merupakan strategi bisnis yang tidak sehat. Beberapa startup di Tanah Air pun berencana mengurangi subsidi pada tahun ini.
Alasannya, perang harga termasuk ‘bakar uang’ hanya menghasilkan artificial demand atau permintaan yang semu. “Itu adalah perang yang tidak sehat,” kata Co-Founder sekaligus Managing Partner Northstar Group Patrick Walujo dalam acara Indonesia Data and Economy Conference atau IDE Katadata 2020 di Grand Ballroom Kempinski, Jakarta, Kamis (30/1).
Patrick menilai, istilah Winner Takes It All atau pemenang mengambil semuanya tidak harus disematkan kepada pemain yang gemar ‘bakar uang’. Menurut dia, istilah itu lebih tepat untuk perusahaan rintisan yang berfokus pada inovasi dan pengembangan teknologi yang berfokus menyelesaikan persoalan masyarakat (social machine).
(Baca: Efek ‘Bakar Uang’ WeWork, Investor Fokus buat Profit Startup Tahun Ini)
Ia tidak sepakat jika suatu perusahaan, termasuk asing, merasa bisa membeli pasar Indonesia dengan menerapkan harga yang murah. Hal itu sama saja dengan dumping.
Namun, dia tidak heran strategi ‘bakar uang’ masih dilakukan beberapa perusahaan di Tanah Air. Sebab, peraturan terkait ekonomi digital yang relatif baru belum terlalu jelas diatur.
Selain itu, penghasilan dari permintaan karena adanya promosi tidak akan menutup komitmen finansial perusahaan. (Baca: Gojek Klaim Sudah pada Jalur yang Tepat Untuk Mulai Mencetak Profit)
Di satu sisi ia mengakui perusahaannya berinvestasi di Gojek ketika perang harga tengah berlangsung. “Kebetulan saya kenal sama Nadiem Makarim (Pendiri Gojek) sebelum saya investasi,” kata dia.
Saat itu, Gojek hanya menyediakan layanan pemesanan ojek melalui telepon. Setidaknya hanya ada 20 hingga 50 pesanan dalam sehari. Lantas ia meminta Nadiem Makarim untuk membuat aplikasi.
“Saya beri US$ 800 ribu untuk membuat Gojek. Jadi sebetulnya kami lihat tren di luar negeri dan saya kenal Nadiem,” kata Nadiem.
(Baca: GoPay dan LinkAja Bakal Kurangi ‘Bakar Uang’ Tahun Depan)
Kini, perusahaan rintisan yang diinvestasi Northstar itu berkembang menjadi superapp. Gojek memiliki beragam layanan mulai dari berbagi tumpangan (ride hailing), pesan-antar makanan, logistik hingga Video on Demand (VoD).
Northstar Group menanamkan modal di Gojek melalui anak usahanya, NSI Ventures. Besaran investasinya mencapai US$ 90 juta pada 2014. Lalu, perusahaan pengelolaan dana itu menambah investasinya setahun kemudian.
Tahun ini, Gojek sendiri berfokus pada pertumbuhan bisnis berkelanjutan. “Ada keinginan kami untuk menjadi yang terdepan. Tetapi caranya tidak harus selalu dengan promosi, justru harus lebih inovatif,” kata Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita di Jakarta, beberapa waktu lalu (16/1).
(Baca: Bos East Ventures Ungkap Resep Meningkatkan Bisnis Startup)
Decacorn atau startup bervaluasi lebih dari US$ 10 miliar itu mulai berfokus pada inovasi ketimbang promosi seperti uang kembali (cashback) dan diskon. Dengan begitu, mereka optimistis layanannya lebih sering digunakan oleh konsumen.
Chief Executive Officer (CEO) GoPay Aldi Haryopratomo mengatakan, perusahaannya sudah berada pada jalur yang tepat menuju profit meski tidak didukung permodalan yang besar. "(Fokus) itu telah terbayar. Itu sebenarnya salah satu manfaat dari menjadi pemain 'underdog' di pasar ini, ”ujar dia dikutip dari DealStreetAsia, Sabtu lalu (18/1).
Tiga unicorn Tanah Air seperti Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak juga menyatakan mulai mengejar laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi alias EBITDA positif. Begitu juga dengan OVO yang bakal mengurangi ‘bakar uang’ tahun ini.
(Baca: DANA dan OVO Bakal Kurangi Strategi ‘Bakar Uang’ Tahun Depan)