Kasus WeWork, Sinyal Berakhirnya Startup Rugi yang Gencar "Bakar Uang"

instagram/@wework
Ilustrasi, WeWork. Analis menilai kegagalan WeWork melantai di bursa saham bisa menjadi sinyal berakhirnya investasi jor-joran di startup yang merugi namun gencar 'bakar uang'.
Penulis: Desy Setyowati
11/10/2019, 16.04 WIB

Startup asal Amerika Serikat (AS), WeWork batal melantai di bursa saham (initial public offering/IPO). Analis menilai, kondisi yang terjadi pada WeWork bisa menjadi sinyal berakhirnya era perusahaan rintisan rugi yang gencar ‘bakar uang’.

“Kami cukup yakin ada sekitar US$ 10 miliar hingga US$ 11 miliar telah mereka (SoftBank) investasikan (di WeWork),” kata Analis Riset Ekuitas Teknologi di Jefferies, Atul Goyal dikutip dari Fortune, Jumat (11/10).

Sedangkan valuasi WeWork disebut-sebut turun dari US$ 47 miliar menjadi US$ 10 miliar saat ini. Goyal memperkirakan, SoftBank bakal rugi jika valuasi WeWork turun hingga ke level US$ 10 miliar.

Ahli Strategi Ekuitas di Morgan Stanley Michael Wilson mengatakan, kegagalan WeWork bisa menjadi sinyal berakhirnya ‘hari-hari modal tanpa batas untuk bisnis yang belum untung’.

Hal itu ia sampaikan dalam nota tertanggal 29 September 2019 yang diberikan kepada kliennya. Ia pun mengingatkan beberapa kasus yang menimpa korporasi lain dalam 20 tahun terakhir.

(Baca: Riset Google: Investasi ke Startup RI Rp 23,8 T, Terbesar di Regional)

Setidaknya ada tiga kasus yang ia contohkan. Pertama, kegagalan buyout (pembelian terutang) United Airlines pada Oktober 1989. Kedua, peleburan AOL dan Time Warner pada 2000 yang mengindikasikan segera berakhirnya gelembung era bisnis dot-com. Terakhir, pengambilalihan bank investasi Bear Stearns oleh JP Morgan pada 2008.

“Membayar atas valuasi yang luar biasa adalah ide buruk, khususnya untuk bisnis yang tidak pernah menghasilkan arus kas positif,” kata dia dikutip dari Reuters.

Berdasarkan data Crunchbase, partisipasi SoftBank dalam beberapa putaran pendanaan WeWork mencapai US$ 10,4 miliar. Pada putaran pertama misalnya, senilai US$ 4,4 miliar, dengan asumsi valuasi WeWork US$ 15,6 miliar. Investasi yang terakhir mencapai US$ 2 miliar, dengan valuasi yang diprediksi tembus US$ 47 miliar pada Januari lalu.

Kini, startup penyedia layanan ruang kerja Bersama (coworking space) itu disebut-sebut membutuhkan tambahan modal. Mengutip dari Business Insider, WeWork berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 1.000-3.000 karyawan, atau sekitar 10-25% dari total.

(Baca: GoPay, OVO, LinkAja dan DANA Ungkap Soal Strategi ‘Bakar Uang’)

Berdasarkan laporan The Wall Street Journal, WeWork berencana menjual perusahaan yang diakuisisi. Salah satunya, Gulfstream G650 yang diakuisisi pada 2018 lalu, senilai US$ 60 juta.

WeWork merupakan startup yang agresif dalam ekspansi. Pada 2017, cakupannya hanya di 100 lokasi. Namun, data terakhir, WeWork telah melebarkan sayap ke 500 lokasi. Berdasarkan data analis di Bernstein, WeWork menghabiskan US$ 700 juta (Rp 9,8 triliun) per kuartal untuk promosi atau 'bakar uang'.

Namun, Co-CEO WeWork Artie Minson dan Sebastian Gunningham menyampaikan bahwa alasan perusahaan menunda IPO adalah karena ingin berfokus pada bisnis inti. Sedangkan fundamental bisnis masih cukup kuat.

(Baca: Papan Akselerasi Bakal Menarik Investor dan Startup Masuk Pasar Modal)