Dua Kunci Sukses Para Bos Sociolla Menggarap Bisnis Kecantikan

Youtube
Co-Founder sekaligus President Sociola Christopher Madiam
Penulis: Desy Setyowati
17/5/2022, 10.00 WIB

Co-Founder sekaligus President Social Bella (Sociolla) Christopher Madiam mengungkapkan ‘kunci’ dalam mengembangkan bisnis kecantikan di Indonesia. Potensi pasar ekonomi perempuan atau sheconomy, termasuk kecantikan, diperkirakan US$ 59 miliar atau Rp 847 triliun.

Saat ini, Sociolla mempunyai 35 gerai omnichannel di Indonesia dan sembilan di Vietnam. Startup kecantikan ini juga memiliki 24 gudang multifungsi di Tanah Air.

Chris bercerita, ia membangun Sociolla bersama John Rasjid dan Chrisanti Indiana pada 2015. John menjabat sebagai CEO dan Chrisanti CMO.

“Saat itu golden year bagi e-commerce. Lazada mendominasi pasar. Ada juga Tokopedia, Bukalapak, Blibli, dan sebagainya. Kami melihat peluang,” kata Chris dalam program serial podcast Impacttalk yang dirilis oleh Impactto belum lama ini.

[Perbincangan lengkap program Impacttalk tersebut bisa dililhat pada link berikut ini]

Ketiganya pun membangun startup e-commerce, namun yang berfokus pada kecantikan. Saat itu, ia melihat belum ada perusahaan rintisan yang menggarap sektor ini secara spesifik.

Padahal, Kementerian Perindustrian menempatkan industri kosmetik sebagai sektor andalan. Ini tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN)tahun 2015 – 2035.

Lalu perusahaan kosmetik dalam negeri bertambah 153, sehingga totalnya menjadi lebih dari 760 pada 2017. Sebanyak 95% di antaranya sektor industri kecil dan menengah (IKM).

Saat itu, perusahaan skala menengah dan besar mengekspor produknya ke ASEAN, Afrika, Timur Tengah, dan lain-lain. Nilai transaksi ke luar negeri itu US$ 516,99 juta. Kemudian naik menjadi US$ 600 juta pada 2019. Produk kecantikan juga yang paling laris di e-commerce, seperti terlihat dalam Databkos berikut ini.

Chris, John, dan Santi mempelajari bahwa e-commerce kecantikan perlu meyakinkan konsumen mengenai keamanan dan keaslian produk. “Pada 2015, ketika orang membeli barang, bukan hanya masalah trust atas produknya, juga pengirimannya,” ujar dia. “Ini tantangan. Kami percaya bahwa ini salah satu area yang sangat butuh trust lebih dibanding e-commerce lain.”

Menurutnya, kepercayaan itu merupakan salah satu kunci dalam membangun bisnis di sektor kecantikan. Ia dan kedua rekannya pun berfokus mengembangkan teknologi yang dapat memberikan nilai tambah bagi pelanggan.

Sociolla membangun sistem yang memungkinkan harga produk di platform online maupun gerai offline selalu sama di Indonesia. Startup itu pun mengembangkan fitur yang memungkinkan pelanggan mendapatkan informasi seputar produk hanya dengan memindai (scan) barcode.

As a founder, I don’t envision to build a tech that people don't understand. Jadi, bagaimana cara kami menawarkan teknologi yang bisa berguna dan ada nilai tambah bagi konsumen,” ujarnya. “Ini kunci bisnis kami.”

Dengan kedua ‘kunci’ itu, Sociolla memperbesar ekosistem. Startup kecantikan ini bertransformasi menjadi ekosistem lengkap dengan tambahan empat pilar bisnis lainnya, yaitu:

  1. Super App kecantikan SoCo
  2. Media kecantikan dan gaya hidup dengan menghadirkan layanan end-to-end O2O marketing Beauty Journal
  3. Brand Development dengan layanan distributor produk kecantikan dan perawatan diri dari hulu ke hilir
  4. Lilla, ekosistem lengkap bagi ibu dan anak

Sociolla pun memperkenalkan model bisnis baru yang disebut SHEcosystem. Menurutnya, ini akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk ekspansi multi-dimensional.

Perusahaan rintisan itu bakal gencar ekspansi gerai omnichannel. Tahun lalu, pertumbuhan toko startup ini 10 kali lipat dibandingkan 2019. 

Startup kecantikan itu memiliki 24 gudang multifungsi yang tersebar di Indonesia. Ini dapat melayani lebih dari 55 ribu titik penjualan untuk bisnis Brand Development. Sociolla juga berencana memperluas jaringan di luar negeri, setelah tahun lalu ekspansi ke Vietnam.

Dengan langkah itu, Sociolla ingin meraup potensi pasar ekonomi perempuan atau sheconomy, termasuk kecantikan, yang diprediksi US$ 59 miliar atau Rp 847 triliun. Pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sektor ini 9,4%," kata Christopher dalam konferensi pers virtual, pada Maret (29/3).

"Kami juga berambisi menyasar pasar regional di Asia Tenggara yang lebih luas lagi," ujar Co-Founder sekaligus CEO Social Bella John Rasjid. Namun ia tidak memerinci negara yang bakal dituju. Sejauh ini, beberapa partner telah berkomunikasi dan mengenalkan pasar luar negeri yang potensial kepada Sociolla.

Selain ekspansi, startup kecantikan itu berencana mencatatkan penawaran saham perdana ke publik (IPO). Namun, John tidak menjelaskan kapan IPO akan dilakukan. "IPO selalu ada di benak kami, satu rencana ke depan. Apalagi, sekarang Sociolla masuk tahun ke tujuh beroperasi," katanya.

John mengatakan, untuk menjalankan sejumlah upaya ekspansi itu, perusahaan berencana mengumpulkan pendanaan. "Kami butuhkan seiring dengan ambisi ekspansi kami," katanya.

Pada Januari lalu, Sociolla dikabarkan dalam pembicaraan untuk mengumpulkan pendanaan US$ 150 juta (Rp 2,2 triliun) hingga US$ 200 juta (Rp 2,9 triliun). "Sedang merundingkan putaran pendanaan yang akan mendorong valuasinya melewat US$ 1 miliar,” kata sumber Bloomberg yang mengetahui masalah itu dikutip dari Business Times, pada Januari (19/1).

Melalui pendanaan tersebut, valuasi perusahaan rintisan itu disebut-sebut bakal mencapai US$ 1,2 miliar sampai US$ 1,4 miliar. Sociolla telah mengumpulkan US$ 58 juta dalam putaran pendanaan Seri E pada 2020. Dana segar ini diperoleh dari investor termasuk Temasek, Jungle Ventures, dan Pavilion Capital. Lalu ada tambahan US$ 57 juta dari L Catterton dan investor lainnya tahun lalu.

Sociolla telah menggaet lebih dari 150 brand yang tengah berkembang. Tahun lalu transaksi Sociolla tumbuh hampir dua kali lipat. Sedangkan, jumlah pengguna telah tumbuh lebih dari dua kali lipat.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan