Istilah bubble burst muncul di Indonesia setelah setidaknya tujuh startup melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK tahun ini. Apakah benar perusahaan rintisan Tanah Air mengalami bubble burst?
Bubble burst pernah mengguncang industri internet pada 1990-an, yang dikenal juga dengan istilah dotcom bubble.
Kehancuran dot-com atau gelembung dot-com terjadi pada periode 1998 hingga awal 2000-an. Saat itu, banyak perusahaan yang mencantumkan nama dot-com.
Mereka melantai di bursa efek dan mencatatkan harga saham yang meroket.
Perusahaan dot-com saat itu banyak menjalankan model perusahaan rintisan yang bereksperimen dengan cara-cara baru dalam berbisnis. Namun, mereka tidak punya arah bisnis yang jelas dan tidak stabil.
Kemudian, gelembung dot-com meledak dan harga saham perusahaan internet itu runtuh. Bahkan banyak di antaranya yang gulung tikar.
Menurut Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara, kondisi startup di Indonesia saat ini bukan bubble burst. Ia menilai, maraknya PHK oleh perusahaan rintisan nasional terlalu dikaitkan dengan anjloknya harga saham sejumlah raksasa teknologi di Amerika Serikat (AS).
"Seharusnya bisa dibedakan dunia startup dengan perusahaan teknologi global seperti Apple, Microsoft, Amazon, atau Meta. Saya rasa ini terbawa imbas persepsi, karena sama-sama mengandalkan teknologi," kata Rudiantara dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, baru-baru ini.
Menurutnya, apa yang terjadi pada startup Indonesia saat ini hanya proses penyesuaian. "Memang secara alamiah, itu yang terjadi," katanya.
Ia mengatakan, cara pandang atau mindset investor startup saat ini berubah. Penanam modal tidak lagi menginginkan perusahaan rintisan yang jor-joran beli pasar atau bakar uang.
Investor menginginkan startup yang bisa menghasilkan arus kas dan EBITDA positif.
Apabila pengeluaran cukup banyak, maka startup dituntut bisa melakukan efisiensi. "Biasanya, biaya operasi dan belanja modal dikurangi. Terkait efisiensi SDM bagian terakhir," katanya.
Menurutnya, ketika melakukan PHK, maka startup melakukan penyesuaian bisnis. "Kalau bisnisnya sesuai kembali, mereka akan rekrut karyawan lagi," katanya.
Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan juga mengatakan bahwa maraknya PHK bukanlah akhir dari masa keemasan startup.
“Kalau yang dimaksud dari definisi ‘masa emas’ adalah kondisi bubble atau bullish, bukan berarti masa keemasan startup sudah berakhir,” kata Edward kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (12/6).
“Kondisi bullish dan bearish atau koreksi pasar sudah biasa terjadi di pasar modal dan juga investasi di private companies. Kalau kita ingat pada akhir 1999 dan awal 2000 terjadi market crash di investasi startup, namun pada periode berikutnya terjadi startup boom pada waktu yang tepat juga,” tambah dia.
Meski begitu, konglomerat Hary Tanoesoedibjo menilai, hari-hari keemasan startup mulai berakhir. "The golden days of startup are already over," kata dia melalui akun Instagram @hary.tanoesoedibjo, akhir bulan lalu (29/5).
Ia menyertakan infografik yang menggambarkan fenomena PHK massal oleh startup.
Hary menjelaskan soal indikator bisnis yang sehat bisa dilihat dari kas atau kondisi keuangan yang positif. "At the end of the day, healthy business must generate positive cashflow," kata dia.
Sedangkan pakar informasi teknologi dari ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, maraknya startup PHK saat ini menunjukkan terjadinya bubble. “Sebab, rentan ketika startup sebenarnya tidak miliki aset. Asetnya yakni mitra,” katanya kepada Katadata.co.id, akhir bulan lalu (27/5).
“Startup yang tidak diminati oleh masyarakat, dan masyarakat menjadi bagian dari mitra yang kuat, pasti akan rontok,” tambah dia.