Pengemudi ojek online mencatat bahwa ada aplikator yang masih menerapkan biaya sewa aplikasi lebih dari 15%. Grab menyampaikan, biaya bagi hasil ini digunakan untuk menggenjot pendapatan mitra pengemudi ojol.
Namun, Grab tidak berkomentar terkait benar tidaknya ada aplikator yang menerapkan biaya bagi hasil lebih dari 15%. Sedangkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah meminta perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Maxim untuk menetapkan biaya sewa maksimal 15%.
Ketentuan itu diumumkan bersamaan dengan kenaikan tarif ojek online, yang diatur dalam Kepmenhub KP 667 tahun 2022.
Menanggapi soal keluhan pengemudi ojek online, Director of Central Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy mengatakan bahwa besaran penyesuaian tarif telah dihitung secara saksama.
“Namun juga dirancang untuk menjaga kesejahteraan mitra pengemudi dan kestabilan permintaan pasar terhadap layanan Grab,” kata Tirza kepada Katadata.co.id, Selasa (27/9).
Grab pun berfokus menyosialisasikan penerapan tarif ojek online yang baru. Selain itu, terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait penerapan biaya sewa aplikasi.
“Perlu diketahui bahwa potongan komisi tak hanya digunakan untuk menjaga kesejahteraan mitra pengemudi dan pengembangan teknologi, tetapi juga keberlanjutan perusahaan,” ujar dia.
“Guna memastikan bahwa Grab dapat terus menyediakan sumber penghasilan berkesinambungan bagi ratusan ribu mitra di Indonesia,” tambah dia.
Sedangkan Maxim menilai Kemenhub tidak memiliki tujuan dalam menetapkan persentase biaya bagi hasil. “Kalau memang ini mau diterapkan pemerintah, maksudnya apa?” kata Business Development Manager Maxim Indonesia Azhar Mutamad kepada Katadata.co.id, Selasa (27/9).
Menurutnya, biaya bagi hasil merupakan harga jual layanan masing-masing aplikator. “Kalau ini ditentukan (oleh Kemenhub), ini menjadi pertanyaan. Tarif, syarat, dan kuota diatur. Sekarang potongan juga,” katanya.
Padahal, biaya bagi hasil merupakan sumber pendapatan utama aplikator. Ia khawatir bahwa ketetapan ini membuat industri berbagi tumpangan over regulated, sehingga banyak pemain yang bangkrut.
“Kalau pemerintah memaksakan harus tetap menyediakan layanan transportasi online, pemerintah mau memberikan subsidi untuk kami (aplikator)?” ujarnya.
Dia berharap, pemerintah lebih bijak dan melihat bahwa bisnis berbagi tumpangan membuka peluang kerja bagi banyak orang, mempermudah bisnis UMKM.
“Tolong dilihat secara komprehensif. Jangan karena satu pihak saja sehingga harus diikuti,” kata Imam. “Jika mitra driver merasa keberatan dengan potongan, mereka punya pilihan untuk bekerja dengan aplikasi lain.”
Di satu sisi, pengemudi ojek online mengeluhkan adanya aplikator yang menerapkan biaya bagi hasil lebih dari 15%. Katadata.co.id mengonfirmasi keluhan ini kepada Gojek dan Grab. Namun, belum ada tanggapan.
“Para pengemudi ojek online masih dibebankan biaya potongan aplikasi 20%,” kata Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono kepada Katadata.co.id, Senin (26/9).
Namun, ia tidak memerinci aplikator yang dimaksud. Dia pernah mengatakan bahwa ada dua perusahaan berbagi tumpangan besar yang mengenakan biaya bagi hasil 20%, sebelum ada ketetapan baru dari Kemenhub.
Sedangkan dua penyedia layanan ojek online yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah Gojek dan Grab, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini: