Startup di Indonesia menghadapi masalah ketatnya pendanaan dan ancaman resesi ekonomi global. Mantan petinggi Gojek hingga bos Sirclo pun berbagi tips agar bisnis tidak gagal di tengah situasi ini.
Setidaknya ada lima petinggi startup yang menjadi coach dalam Startup Studio Indonesia (SSI), membagikan tips untuk mencapai Product-Market Fit (PMF).
SSI adalah program inkubasi yang digelar oleh Kominfo. Sedangkan Product-Market Fit sebagai konsep atau skenario ketika para pelanggan suatu perusahaan mau membeli, menggunakan, dan menyebarkan informasi tentang suatu produk.
Jika itu terjadi pada banyak pelanggan suatu bisnis, maka akan mampu mendukung pertumbuhan perusahaan dan meningkatkan keuntungan.
Profesor Thomas R Eisenmann dari Harvard Business School pun mengungkapkan sebanyak 90% startup gagal karena produk/layanan yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.
Riset CB Insights juga menunjukkan bahwa 42% startup gagal karena tidak berhasil menemukan product-market fit.
Untuk mengatasi hal itu, lima petinggi startup yakni CEO Sociolla Christopher Madiam, CEO Kitabisa.com Alfatih Timur, CEO Mekari Suwandi Soh, CEO Sirclo Brian Marshal, dan CEO AwanTunai Rama Notowidigo membagikan tips sebagai berikut:
1. Disrupsi dan tren tidak perlu selalu diikuti
Founder dan CEO Sociolla Christopher Madiam mengatakan bahwa selama ini startup selalu diidentikkan dengan usaha yang mendisrupsi bisnis konvensional.
Padahal, disrupsi dan tren tidak selalu berjalan di jangka panjang. “Tidak semua hal bisa di-disrupsi,” ujarnya.
Menurutnya, founders harus bisa menganalisa mana kebiasaan konsumen yang bisa diubah dan mana yang tidak.
Berkaca pada bisnisnya, Sociolla percaya bahwa kehadiran toko offline adalah hal yang tidak akan berubah.
Christopher mengatakan sebagaimana berkembangnya sistem e-commerce, toko offline pasti akan tetap eksis. “Itulah mengapa kami pun mengembangkan kehadiran offline,” kata dia.
“Jadi perlu diingat bahwa tidak semua disrupsi dan tren-tren digitalisasi baru perlu untuk kita ikuti,” tegasnya.
2. Gabungkan hasil benchmarking dengan data dan analisis mandiri
Salah satu cara startup untuk bisa memahami pasar yang dituju adalah dengan melakukan benchmarking. Benchmarking yaitu menganalisis apa yang dilakukan startup serupa atau bahkan kompetitor.
Pada tahap awal, founder bisa menjajal langsung dengan menjadi pengguna di bisnis serupa. Tujuannya, agar bisa mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari startup lain dan menghadirkan solusi yang lebih baik.
Co-Founder & CEO Kitabisa.com Alfatih Timur mengungkapkan pada awal perkembangan, Kitabisa sering belajar dari operasional platform penghimpunan dana internasional seperti Gofundme. Namun, ada perbedaan bisnis yang cukup signifikan.
“Justru setelah itu kami menemukan platform crowdfunding dari India yang punya produk yang lebih mirip, sehingga menjadi patokan benchmarking kami,” kata Alfatih.
Meski begitu, hasil dari benchmarking tersebut wajib untuk dikombinasikan dengan insight data yang dimiliki. “Karena bagaimanapun setiap pasar memiliki dinamikanya sendiri-sendiri,” jelasnya.
3. Lakukan eksperimen kecil-kecilan
Eksperimen secara terus-menerus merupakan kunci dari keberhasilan Co-Founder AwanTunai dan Sayurbox Rama Notowidigo, yang sekaligus mantan Chief Product Officer GO-JEK.
Menurutnya, penting bagi founder startup untuk berani mencoba segala sesuatu dan melihat mana cara yang berhasil dan gagal.
“Kesuksesan itu sendiri bisa dilihat jika eksperimen tersebut bisa menghasilkan pendapatan organik dan ada level retensi (loyalitas pengguna) yang cukup sehat,” kata Rama.
Christopher Madiam pun ikut menyuarakan hal senada. Ia menyarankan para founders untuk mencoba segala sesuatu di skala kecil-kecilan.
Jika mendapatkan respon positif dari pengguna atau klien, barulah startup bisa menyempurnakan kembali produk tersebut.
Ia mengatakan bahwa eksperimen kecil-kecilan sering menjadi faktor yang lebih efektif daripada terlalu banyak menerima teori saja tanpa dipraktikkan.
4. Human touch tetap harus jadi prioritas
Bagi startup yang bergerak di bidang B2B, layanan pelanggan tetap menjadi aspek utama yang perlu dijaga.
Founder dan CEO dari omnichannel commerce enabler SIRCLO Group Brian Marshal mengatakan seiring dengan berkembangnya skala bisnis membutuhkan intelegensi dan analisa data yang kuat. “Untuk bisa memberikan servis terbaik bagi klien,” katanya.
Data tersebut membantu pengambilan keputusan, seperti mencari harga terbaik dan margin diskon paling bagus.
Namun, Brian menegaskan bahwa analisa data ini tidak bisa menggantikan layanan manusia atau human touch. “Kita perlu memberikan layanan terbaik selalu bagi klien, betul-betul memahami apa pain points dan membantu mereka ketika menemukan hambatan,” ujar dia.
“Di sinilah peran penting dari divisi layanan pelanggan atau Account atau Relationship Manager,” katanya.
5. Bangun fitur yang melengkapi produk utama
Dalam proses membesarkan startup, terkadang founders terlalu berfokus dalam menciptakan fitur dan produk baru. Sehingga mengorbankan produk utama yang telah memiliki model bisnis yang jelas.
Ketika startup sudah menemukan product-market fit (PMF) dan mempunyai jasa atau produk digital yang menghasilkan pendapatan, bangunlah fitur dan produk-produk baru yang bisa melengkapi hal tersebut.
Hal inilah yang menjadi alasan CEO Mekari Suwandi Soh dalam meluncurkan Mekari University.
Dari hasil observasinya, ia melihat banyak pemilik bisnis dan profesional yang membutuhkan pemahaman lebih jauh. Bukan hanya dalam penggunaan software, tapi juga sisi teknis pada akuntansi, perpajakan, hingga peraturan ketenagakerjaan.
“Maka kami membentuk dan membangun Mekari University yang memberikan pelatihan dan membantu menutup gap tersebut,” jelas Suwandi. Ia mengatakan bahwa saat ini, Mekari University juga membantu mahasiswa hingga non-pengguna produk Mekari.