Regulator dan Asosiasi di ASEAN menyebutkan ada lima risiko terkait kehadiran perusahaan teknologi finansial (fintech). Sejalan dengan hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menerapkan empat pendekatan dalam menyikapi kehadiran industri ini.
Risiko pertama terkait regulasi (legal risk). “Misalnya, blockchain. Bagaimana mengantisipasi hal itu?” kata Deputy Director Financial Technology Department Bank of Thailand Wijitleka Marome dalam acara Fintech Summit 2019 di JCC, Jakarta, Selasa (24/9).
Selanjutnya, ada risiko dari sisi operasional, strategis, teknologi, dan data. “Risiko data menjadi fokus utama regulator di ASEAN,” kata Director of FintechSpace Shan Luo.
Dari sisi teknologi, perusahaan fintech bekerja sama dengan asosiasi peretas (hacker). Sebab, menurutnya peretas selalu punya cara untuk membobol layanan keuangan termasuk fintech.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menambahkan, risiko yang paling menjadi perhatian pemerintah adalah regulatory blind swap. “Selain ada risiko baru, risikonya (yang sudah ada) juga meningkat,” katanya.
(Baca: Beda Aturan Fintech dan Industri Keuangan Konvensional)
Ia menjelaskan bahwa fintech adalah industri yang baru. Di satu sisi, model bisnisnya juga terus berubah. “Regulator sebutnya unknown risk, karena model bisnisnya berubah terus. Jadi kami harus selalu berjaga-jaga. Intinya agile,” kata dia.
Risiko tersebut, menurutnya bukan hanya dirasakan oleh fintech tetapi juga perbankan. Ia memperkirakan, ada lima rupa perbankan ke depan. Pertama, munculnya bank baru. Maksudnya, bank yang sudah ada bertransformasi dan mengadopsi teknologi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen.
Kedua, menjadi bank yang lebih baik, juga mengadopsi teknologi. Ketiga, bank yang perannya sudah diambil oleh fintech ataupun perusahaan sejenis lainnya. Keempat, bank yang hanya berfungsi sebagai penunjang. Terakhir, bank yang tidak sanggup mengikuti perubahan sehingga ditinggal oleh nasabah.
Guna mengantisipasi berbagai kemungkinan itu, OJK tengah mengkaji regulasi terkait bank digital. “OJK filosofinya terbuka terhadap inovasi. Hanya masalah waktu saja. Itu sudah diagendakan,” kata dia.
Negara yang sudah mengkaji bank digital adalah Singapura. Otoritas Moneter Singapura atau The Monetary Authority of Singapore (MAS) berencana menerbitkan lima lisensi bank digital hingga akhir tahun. Salah satu perusahaan non-perbankan yang mengajukan izin adalah Grab.
(Baca: Grab Bidik Jadi Bank Digital di Singapura)
Berkaca dari beragam risiko yang mungkin muncul itu, OJK fokus pada empat pendekatan terkait peraturan fintech. Pertama, tidak mengatur fintech secara ketat supaya bisa tumbuh dan berinovasi. Kedua, diatur terkait keamanan seperti tidak digunakan untuk pencucian uang, pembiayaan terorisme dan lainnya.
Ketiga, sesuatu yang belum diatur. Dalam artian, OJK mengkaji beragam risiko dan memungkinkan untuk mengeluarkan peraturan terkait hal itu. Terakhir, menganalisis model bisnis keuangan lain seperti mata uang virtual (cryptocurrency). “Sejenis (layanan) bank yang tidak boleh,” kata dia.
Meski begitu, regulator di ASEAN mendukung inovasi yang dibawa oleh fintech. Apalagi, industri ini dinilai efektif mendorong inklusi keuangan.
(Baca: Fintech Bisa Garap 35 Juta Orang dari Target Inklusi Keuangan)