Rudiantara Usulkan Cara Meredam Banjir Impor lewat E-commerce

Grab
Ilustrasi, Rudiantara saat menghadiri peluncuan GVV Angkatan II. Menteri Kominfo Rudiantara tidak sepenuhnya sepakat bahwa impor lewat e-commerce menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan.
Penulis: Desy Setyowati
26/7/2019, 22.16 WIB

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara tidak sepenuhnya sepakat bahwa impor lewat e-commerce menjadi penyumbang defisit neraca perdagangan. Sebab, para pedagang yang berjualan secara offline juga mengimpor barang konsumsi.

“Bisa iya dan tidak (e-commerce menyumbang defisit neraca perdagangan). Iya, kalau modelnya Business to Business (BtoB) dan bawa barang dari luar negeri,” kata dia dalam acara Ulang Tahun ke-8 Blibli.com di Jakarta, Jumat (26/7).

Contoh e-commerce BtoB adalah Ralali, Bhinneka.com, dan Bizzy. E-commerce jenis ini menjual produk ke perusahaan lain, bukan individu.

(Baca: Bukalapak hingga Lazada Tanggapi Permintaan DJBC untuk Integrasi Data)

Untuk model bisnis Costumer to Costumer (CtoC), penjual dan pembelinya adalah masyarakat umum. Penjual di e-commerce kategori ini tergolong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Ia mengakui, ada juga penjual individu di e-commerce yang mengimpor barang dan menjajakannya secara online. “Misalnya, saya berjualan di e-commerce. Saya bukan importir besar. Saya beli lewat distributor atau agen. Distributor ini yang kami sama-sama ajak untuk tidak impor banyak,” katanya.

Selain itu, ia mengimbau masyarakat untuk membeli produk lokal. Meskipun, dia mengakui ada beberapa barang impor yang harganya lebih rendah dibanding yang ada di dalam negeri. “Bukan berarti untung juga mereka. Bisa juga negara lain dumping ke Indonesia,” kata dia.

(Baca: Jalan Berliku Aturan E-Commerce untuk Menekan Impor)

Karena itu, ia berharap e-commerce merangkul lebih banyak UMKM untuk berjualan secara online. Sebab, UMKM menyumbang sekitar 56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika marketplace menjual produk lokal, ia optimistis ekonomi bakal tumbuh maksimal.

Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyebutkan, ada dua jenis barang impor. Pertama, terkait perdagangan luar negeri (cross border). Kedua, produk impor umum yang sudah diproses Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sepengetahuannya, barang impor lewat perdagangan antar negara atau cross border kurang dari 5% terhadap total. “Setahu saya, yang besar itu impor umum seperti ponsel, laprop dan lainnya. Tapi tidak jelas mana impor lewat e-commerce dan yang bukan. Kan ada juga yang dijual offline,” katanya, beberapa waktu lalu (23/7).

Karena itu, asosiasinya berencana membahas impor lewat e-commerce dengan DJBC Kemenkeu, Rabu (24/7) lalu. Namun, pertemuan itu batal dilakukan.

(Baca: PP Segera Terbit, Produk E-Commerce Bakal Wajib SNI)

Reporter: Desy Setyowati