Jalan Berliku Aturan E-Commerce untuk Menekan Impor

Desy Setyowati
23 Agustus 2018, 07:36
belanja online
ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Pekerja memilah paket barang yang akan dikirim melalui udara di gudang logistik TIKI di Kawasan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (18/5).

Pemerintah berjanji akan menerbitkan peraturan baru mengenai perdagangan secara dalam jaringan atau e-commerce paling lambat bulan Oktober mendatang. Ini sebuah kabar gembira karena penerbitannya sudah tertunda sejak setahun lalu. Padahal, payung hukum setingkat peraturan pemerintah (PP) tersebut sangat berguna untuk menghadang serbuan barang impor yang berujung pada terganggunya perekonomian nasional.

Setelah lama tak terdengar kabarnya, pemerintah kembali membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE) pada Kamis (2/8) dua pekan lalu. Rapat tersebut digelar di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, yang dihadiri oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian.

Usai rapat, Menteri Kominfo Rudiantara menyatakan, pemerintah tengah melakukan harmonisasi dan percepatan pembahasan peraturan pemerintah mengenai e-commerce. “Sudah beberapa kali kan tertunda (pembahasannya),” kata dia.

Kalau mengacu kepada terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai perdagangan secara online tersebut pada Oktober 2017, berarti keluarnya PP hingga saat ini sudah tertunda 10 bulan. “Sudah terlambat lama.”

Yang menarik dalam rancangan aturan tersebut, menurut Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi serta Usaha Kecil Menengah (UKM) Kementerian Koordinator Perekonomian Rudy Salahuddin, ketentuan produk yang dijual di e-commerce akan disesuaikan dengan yang berlaku pada perdagangan retail konvensional. "Aturan e-commerce hanya media, aturan yang sudah ada tidak perlu dibuat, itu ikut aturan offline," ujarnya.

Jadi, PP baru tersebut bakal fokus mengatur e-commerce sebagai media dalam perdagangan secara elektronik. Karenanya, kriteria mengenai barang yang diperjualbelikan melalui e-commerce sebenarnya tidak diatur di dalam PP ini, melainkan mengikuti ketentuan yang sudah ada.

Artinya, ketentuan terkait barang yang diperdagangkan di e-commerce akan mengikuti PP Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

Sedangkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita --yang turut hadir dalam rapat tersebut—menekankan perdagangan secara online juga membantu pemasaran barang dalam negeri. Jika mengacu ketentuan perdagangan konvensional, ada kewajiban pemenuhan TKDN minimal 60% dan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Momen finalisasi aturan terkait e-commerce --yang salah satu poinnya membatasi produk impor tersebut-- bersamaan dengan upaya pemerintah meningkatkan devisa di dalam negeri. Ada beberapa upaya yang dilakukan, mulai dari menggenjot ekspor komoditas yang selama ini menjadi produk andalan Indonesia, memacu sector pariwisata, hingga menekan impor, baik barang modal maupun konsumsi.

Sektor e-commerce selama ini memang ditengarai sebagai salah satu jalur masuk membanjirnya barang-barang impor ke Indonesia. Kementerian Perdagangan pernah menyebut, lapak online atau marketplace menjual 90% produk impor. Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) periode 2016-2018 Aulia Ersyah Marinto pun membenarkan, bahwa hanya 6-7% produk lokal di platform e-commerce per tahun 2017.

Mayoritas penyelenggara e-commerce mengakui, barang impor mendominasi penjualan di platform mereka. E-commerce asal Singapura, Shopee menyebut 70% barang dagangan di lapaknya merupakan produk impor.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...