Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membatasi akses ke media sosial dan aplikasi perpesanan selama 22-25 Mei lalu. Menurut Pendiri sekaligus CEO PT Digital Forensic Indonesia (DFI) Ruby Alamsyah, kebijakan itu efektif mencegah penyebaran hoaks terkait kerusuhan 22 Mei di Jakarta.
Berdasarkan kajian DFI, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian terkait kerusuhan 22 Mei berkurang setelah Kementerian membatasi akses media sosial. “Pemblokiran terbatas dan bertahap di media sosial dan aplikasi perpesanan itu cukup optimal," ujar dia di kantor Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), Jakarta, Senin (27/5) malam.
Namun, ia pesimistis kebijakan tersebut bakal efektif jika dilakukan untuk kedua kalinya. Sebab, pelaku penyebaran hoaks dan ujaran kebencian sudah mempelajari cara lain supaya bisa melancarkan aksinya. “Pembatasan kemarin itu efektif, menurut saya. Tapi belum tentu (berhasil), kalau dilakukan lagi,” ujarnya.
(Baca: Kominfo Tutup 2.184 Akun dan Situs Selama Pembatasan Media Sosial)
Apalagi, masyarakat ramai-ramai menggunakan jaringan pribadi virtual (Virtual Private Network/VPN) supaya bisa mengakses media sosial. Karena itu, menurut dia, pemerintah perlu mengantisipasi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian terkait kerusuhan 22 Mei supaya tidak meluas.
Salah satu caranya dengan melibatkan perusahaan penyedia layanan aplikasi dan konten (over the top/OTT) seperti Google, Facebook, Twitter, dan lainnya. “Kalau mereka diharuskan melakukan tindakan proaktif untuk menurunkan hoaks, seharusnya itu bisa lebih efektif. Kalau hanya mengandalkan pemerintah itu tidak akan bisa," ujarnya.
Toh, OTT mendapat keuntungan atas operasionalnya di Indonesia. Menurut dia, OTT semestinya bisa mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk memproteksi sistem di platform mereka dari penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
(Baca: Kominfo Temukan 30 Hoaks dan Disinformasi Terkait Kerusuhan 22 Mei)
Ketua BSSN Hinsa Siburian menambahkan, beredarnya ujaran kebencian dan hoaks terkait kerusuhan 22 Mei merupakan persoalan etika. Karena itu, menurutnya pemerintah perlu menggencarkan edukasi terkait penggunaan media sosial dan aplikasi percakapan.
Caranya, pemerintah bisa menggaet buzzer untuk mengedukasi masyarakat. Buzzer adalah sebutan bagi pemilik akun media sosial dengan jumlah pengikut yang cukup banyak. “Urusan hoaks dan ujaran kebencian seperti itu masa harus pemerintah juga yang mengurus. Itu kan masalah etika,” ujar Hinsa.
(Baca: Pembatasan Dicabut, Akses Media Sosial Kembali Normal)