Penyedia layanan on-demand Gojek dan lembaga riset Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) menyebut, kenaikan tarif ojek online dapat menurunkan permintaan layanan. Namun, beberapa konsumen masih menggunakan layanan ojek online untuk perjalanan jarak dekat.
Ibu rumah tangga, Juriah (47 tahun) biasanya menggunakan jasa ojek online untuk pergi ke pasar. Sebelum tarif naik, ia hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp 7 ribu untuk perjalanan 2,8 kilometer. Setelah tarifnya naik, ia mengeluarkan biaya Rp 10 ribu untuk jarak yang sama.
Untuk perjalanan jarak dekat seperti ini, ia masih menggunakan jasa ojek online. “Tapi kalau perjalanannya jarak jauh, saya memilih naik Trans Jakarta,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (7/5).
(Baca: Gojek Sebut Permintaan Layanan Turun Usai Kenaikkan Tarif Ojek Online)
Selain itu, saat membandingkan tarif transportasi, ia sering menemukan harga layanan berbagi tumpangan (ride hailing) kendaraan roda empat lebih murah ketimbang ojek online. Biasanya, kondisi ini terjadi ketika permintaan layanan ojek online sedang tinggi.
Pengguna layanan ojek online lainnya, Ranita (22 tahun) merasa kenaikan tarif layanan ini menambah pengeluaran sehari-hari. Meski begitu, perempuan yang tinggal di kawasan Jakarta Barat ini masih menggunakan layanan ojek online untuk perjalanan jarak dekat.
Selain itu, ia merasa terbantu dengan adanya program penawaran khusus dari aplikator seperti Gojek dan Grab. “Biasanya naik ojek online yang jaraknya dekat. Jadi kenaikan tarif tidak terlalu terasa,” ujar Ranita.
(Baca: Survei RISED: Mayoritas Konsumen Tolak Kenaikkan Tarif Ojek Online)
Hal senada disampaikan oleh pengguna ojek online, Misrohatun (22 tahun). Dia juga menggunakan jasa transportasi online ini untuk perjalanan jarak dekat. Karena itu, ia belum merasa terbebani dengan kenaikan tarif ojek online ini.
Selain itu, sebelum menggunakan layanan ojek online, biasanya ia membandingkan harga transportasi terlebih dulu. “Naik ojek online sebagai penghubung ke halte Trans Jakarta, supaya lebih hemat,” ujarnya.
(Baca: Gojek Terapkan Tarif Terbaru, Pengemudi Ojek Online Batal Mogok)
Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan, 40% konsumen menggunakan ojek online sebagai sarana penghubung (feeder) ke transportasi massal seperti Trans Jakarta, KRL Commuterline, Mass Rapid Transit (MRT), dan sebagainya. “Sekarang, transportasi massal itu belum cukup terintegrasi, sehingga ojek online sebagai feeder,” ujar dia.
Ia memperkirakan, kenaikan tarif ojek online bisa berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk menggunakan transportasi publik. Alhasil, jika tarif transportasi penghubung yakni ojek online naik, konsumen enggan menggunakan kendaraan umum.
(Baca: Berlaku Besok, Gojek dan Grab Siap Terapkan Tarif Baru Ojek Online)
Survei RISED terhadap 3 ribu responden menunjukkan, 75% konsumen menolak kenaikan tarif ojek online. Sebab, mayoritas pengguna layanan ojek online berpendapatan menengah ke bawah atau kurang dari Rp 3,5 juta per bulan.
Survei tersebut dilakukan secara online selama 29 April hingga 3 Mei 2019. Lokasi survei di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Surabaya, Bandung, DI Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang. Tingkat kesalahan atau margin error survei itu di kisaran 1,83 %.
Berdasarkan survei tersebut, 67 % konsumen di zona satu yakni Sumatera, Bali, serta Jawa selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menolak kenaikan tarif. Lalu, 82 % konsumen di zona dua yakni Jabodetabek juga menolak. Begitu pun dengan 66 % responden di zona tiga. Zona tiga berada di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua.
(Baca: Tarif Ojek Online Naik, Pemain Baru Masih Sulit Saingi Gojek dan Grab)