WhatsApp Buat Kebijakan Baru, Ahli IT Khawatir Praktik Jual Beli Data

PXHERE.COM
Ilustrasi WhatsApp
Editor: Yuliawati
17/5/2021, 20.47 WIB

WhatsApp menerapkan kebijakan baru terkait berbagi data pada pekan lalu (15/5). Ahli teknologi informasi (IT) menyebut, kebijakan baru itu akan membuat praktik jual beli data semakin marak dan membuat Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) semakin krusial dibutuhkan.

Peneliti keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persada mengatakan bahwa kebijakan baru itu memungkinkan lebih banyak terjadi praktik jual beli data di platform. "Seolah-olah membenarkan praktik jual beli data pada era saat ini," ujar Pratama kepada Katadata.co.id, pada Senin (17/5).

Kebijakan baru WhatsApp memang memungkinkan data pengguna bisa diakses oleh akun bisnis yang lebih besar. Misalnya, maskapai penerbangan atau retail, dapat menerima pertanyaan dari ribuan pelanggan sekaligus. Ini memungkinkan pelanggan melacak pesanan atau mengetahui informasi penerbangan.

Melalui kebijakan baru ini, aplikasi Facebook juga akan mendapatkan data WhatsApp Business dan akan memberikan akses ke percakapan akun bisnis. Fitur baru WhatsApp akan memungkinkan bisnis kecil mengunggah katalognya secara langsung ke aplikasi.

Pengguna WhatsApp juga bisa mengirimkan pesan kepada penjual, menelusuri barang dagangan, hingga menyelesaikan pembelian. Namun, perubahan ketentuan-ketentuan ini hanya berlaku di akun bisnis.

Pratama menilai perlu ada regulasi terkait perlindungan data pribadi agar praktik jual beli data bisa diantisipasi. "Bila sudah begini, UU PDP memang sangat krusial posisinya," ujarnya.

Sayangnya, UU PDP belum juga rampung karena beberapa kali molor dari targetnya.  Rencana awal, RUU PDP ditargetkan selesai 2019, kemudian bergeser menjadi November 2020. Lalu molor menjadi Desember 2020, kemudian Maret 2021 dan hingga kini belum rampung.

Regulasi tersebut dibutuhkan untuk menindak pelanggaran keamanan data pengguna. Apalagi Facebook Group yang membawahi WhatsApp banyak tersandung masalah kebocoran data. Pada April lalu misalnya, data pribadi 553 juta pengguna Facebook bocor dan bisa diakses gratis di forum peretas.

Pada 2019 terdapat 267 juta data pengguna Facebook yang bocor di internet. Facebook juga sempat tersandung masalah skandal kebocoran data pengguna oleh konsultan politik di Inggris, Cambridge Analytica. Setidaknya, ada 87 juta data pengguna Facebook yang bocor pada 2018 lalu.

Inggris yang memiliki peraturan perlindungan data dapat mendenda Facebook. Kantor Komisioner Informasi (ICO) Inggris berhasil mendenda Facebook sebesar 500.000 poundsterling atau Rp 9,7 miliar.

Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom Alfons Tanujaya mengatakan, tidak hanya WhatsApp, beberapa platform lainnya juga mempunyai kerentanan terhadap gangguan keamanan. "Telegram sama dengan WhatsApp. Hanya saja, basis pengguna WhatsApp lebih banyak," ujar Alfons.

Aplikasi pesaing WhatsApp, Telegram juga pernah mengalami kebocoran data setelah peretas tak dikenal mengekspos detail pribadi penggunanya di forum jual beli data ilegal atau dark web. Basis data yang dijual berupa nomor ponsel, ID pengguna Telegram yang unik, dan lainnya.

Sedangkan, akibat kebijakan baru soal privasi, pekan lalu Telegram mengejek WhatsApp di media sosial Twitter. Awalnya akun Twitter Telegram mengunggah meme berisi ikon aplikasi penampung sampah, recycle bin dari tahun ke tahun.

Di bagian akhir pada 2021, ada ikon recycle bin yang diganti dengan logo WhatsApp dan Facebook.
 
WhatsApp membalas cuitan dengan menyindir bahwa Telegram tidak mempunyai sistem keamanan end-to-end encryption secara default. "Yang tidak diketahui orang-orang adalah Telegram tidak dienkripsi end-to-end secara default," kata WhatsApp di akun Twitternya pada pekan lalu (15/5).

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan