Telkomsel dan Indosat sudah menyediakan jaringan internet generasi kelima alias 5G di Indonesia. Ahli informasi dan teknologi (IT) dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Rahardjo mengatakan, operator seluler butuh investasi besar untuk mengembangkan 5G.
Itu karena perusahaan telekomunikasi perlu membangun infrastruktur dan ekosistem yang memadai agar pemanfaatn 5G maksimal. “Harus keluar uang lagi,” kata Budi dalam webinar Katadata dan DELL Technologies bertajuk ‘Menyambut 5G, Apa yang Perlu Dipersiapkan?’, Selasa (29/6).
Meski begitu, investasi yang dihasilkan akan sebanding dengan pemanfaatan 5G. Sebab, kecepatan 5G hingga tiga gigabyte per detik (Gbps) dan tingkat keterlambatan pengiriman data atau latensi yang rendah.
General Manager Network Strategic Roadmap Telkomsel Christian Guna Gustiana mengatakan, ada beberapa hal yang masih menjadi tantangan utama dalam menyediakan 5G. Beberapa di antaranya ketersediaan spektrum frekuensi dengan lebar bandwidth memadai dan infrastruktur pendukung seperti menara, power, serta transport.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Ahmad M Ramli mengatakan, operator seluler bisa menerapkan skema berbagi jaringan (network sharing) untuk meminimalkan biaya investasi. Ini diatur dalam Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Yang paling ideal untuk 5G itu di rentang 100 MHz. Untuk mendapatkan lebar spektrum itu, operator kesulitan. Untuk itu, kami mendorong berbagi jaringan lewat UU Omnibus Law," kata Ramli. Selain itu, pemerintah akan melakukan penataan atau refarming spektrum frekuensi.
Meski membutuhkan investasi yang besar, 5G potensial bagi operator seluler. Berdasarkan riset AT Kearney pada 2019, monetisasi 5G oleh operator di Indonesia diperkirakan US$ 1,4 - 1,83 juta pada 2025.
Nilai itu lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Malaysia yang masing-masing hanya berkisar US$ 850 ribu – US$ 1,17 juta dan US$ 660 ribu – US$ 900 ribu.
Riset perusahaan telekomunikasi asal Swedia, Ericsson juga menunjukkan bahwa operator seluler Indonesia bisa meraup pendapatan US$ 8,2 miliar atau Rp 116,1 triliun pada 2030, jika mengadopsi 5G.
Dalam riset bertajuk ‘Ericsson Mobility Report 2020’, perusahaan teknologi bisa memperoleh US$ 44,2 miliar atau Rp 625,7 triliun dari masifnya digitalisasi pada 2030. Sebanyak 39% di antaranya atau US$ 17,7 miliar (Rp 250,6 triliun) merupakan hasil adopsi 5G.
Dari jumlah tersebut, 47% atau Rp 116,1 triliun di antaranya menjadi ‘jatah’ perusahaan telekomunikasi. “Tetapi, hanya operator seluler yang mau melihat peluang itu yang akan mendapatkan,” ujar Head of Network Solutions Ericsson Indonesia Ronni Nurmal saat acara peluncuran ‘Ericsson Mobility Report 2020’ secara virtual, tahun lalu (8/12/2020).
Hasil riset tersebut juga mengungkapkan, sektor manufaktur paling potensial menyumbang pendapatan bagi operator seluler. Disusul oleh sektor energi, serta media dan hiburan.