Wawancara Eksklusif Indosat: Pasar Potensial Internet 5G di Indonesia
Indosat resmi menggelar jaringan internet generasi kelima atau 5G di Indonesia sejak dua pekan lalu (14/6). Operator seluler ini menyasar sektor business to business (B2B), khususnya manufaktur dalam menyediakan layanan ini.
Saat ini, internet 5G Indosat baru tersedia di Solo, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar. Perusahaan menargetkan bisa menjangkau 10 kota hingga akhir tahun ini.
Perusahaan telekomunikasi itu menggunakan spektrum frekuensi 1,8 GHz untuk menghadirkan 5G. Berdasarkan hasil uji coba, kecepatannya mencapai 540 megabyte per detik dan latensi sekitar 10 milidetik.
Senior Vice President Corporate Communications Indosat Ooredoo Steve Saerang menyampaikan, perusahaan berfokus menyasar sektor korporasi dalam menghadirkan 5G. "Ini untuk sektor yang membutuhkan latensi rendah. Ini artinya industri manufaktur, kesehatan, UMKM, dan (bidang) supply chain," katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (23/6).
Dalam riset bertajuk ‘Ericsson Mobility Report 2020’, sektor manufaktur merupakan pasar utama internet 5G. Disusul oleh sektor energi, serta media dan hiburan.
Riset itu juga menyebutkan bahwa operator seluler Indonesia bisa meraup pendapatan US$ 8,2 miliar atau Rp 116,1 triliun pada 2030, jika mengadopsi 5G.
Menurut Ericsson, operator seluler yang mengadopsi 5G sedini mungkin akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar pada 2030. Telstra misalnya, operator pertama di Australia yang mengembangkan 5G dan menguasai 50% pangsa pasar layanan seluler.
Kemudian LGU di Korea Selatan yang diklaim mempunyai daya tawar pangsa pasar besar setelah mengembangkan 5G pertama di negaranya. Teknologi 5G dianggap membuka kemungkinan keunggulan kompetitif.
Katadata.co.id pun berbincang dengan Steve terkait potensi pasar 5G di Indonesia. Selain itu, strategi Indosat untuk bersaing dengan operator seluler lain yang menghadirkan 5G.
Seberapa besar potensi 5G di Indonesia, sehingga operator seluler gencar menggelar jaringan 5G?
Indosat bukan gencar mengembangkan 5G, tapi berinovasi. Internet 4G akan tetap yang utama, searah dengan pemerintah. Bukan berarti investasi di 4G akan terhenti dengan adanya 5G. Ini akan terus berjalan seiring pemanfaatan teknologi masyarakat.
Untuk 5G sendiri, akan disesuaikan dengan ekosistem. Sejak awal, kami tidak ingin masyarakat terjebak pada kecepatan (pengiriman data), sehingga berfokus mencari handset (gawai) paling baik.
Jika fokus pada penggunaan, masyarakat akan tahu 5G ini untuk siapa? Ini untuk sektor yang membutuhkan latensi rendah. Ini berarti industri manufaktur, kesehatan, UMKM, dan bidang supply chain.
Kami ingin beradaptasi dan membawa teknologi sesuai kebutuhan sekarang. Kebutuhannya ada di pasar B2B.
Bagaimana Indosat melihat potensi 5G B2B?
Enterprise, perusahaan manufaktur, otomotif, kesehatan, transportasi butuh itu (5G). Jadi, target kami bukan masyarakat pada umumnya yang hanya membeli smartphone.
Kami gelar 5G sesuai konteks yakni transformasi digital Indonesia dan pertumbuhan ekonomi. Kalau berfokus ke konsumen saja, tujuan kami tidak akan tercapai.
Apa sektor B2B yang diincar Indosat dan bagaimana manfaat 5G bagi industri itu?
Sangat besar. Kami bisa masuk, karena 5G membantu industri manufaktur semakin cepat bergerak di masa yang berat ini (pandemi corona). Internet 5G menjadi semacam titik terang buat mereka. Industri butuh solusi agar produksi lebih efisien dengan harga yang lebih terjangkau.
Selain manufaktur, kami menyasar small business karena potensinya besar. UMKM di Indonesia sekitar 60 juta dan butuh bertransformasi ke digital. Otomatis layanan harus bisa mencakup apa yang mereka butuhkan.
Oleh karena itu, sejak awal, strategi kami bermitra. Infrastruktur dan device siapa yang menyelesaikan? Maka, saat kami meluncurkan 5G di Solo, Jawa Tengah, kami datang dengan partner.
Soal smart city, kami bermitra dengan Huawei. Kemudian untuk UMKM, dengan Google.
Kuncinya itu. Indosat tidak pernah sendiri menggarap B2B ini. Solusi datang dengan infrastruktur juga.
Bagaimana keuntungan bagi industri telekomunikasi lewat 5G?
Ada fokusnya yakni transformasi digital dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka panjang, bagaimana 5G mendorong adopsi teknologi lain?
Kuncinya ekosistem. Ini seperti ayam dan telur. Kalau saling menunggu, susah. Kenapa kami mesti menyediakan device murah, Internet of Things (IoT), sementara jaringan belum ada. Kalau saling tunggu, kapan selesai?
Untuk itu, Indosat mendorong supaya ekosistem bisa ada di sini. Teknologi akan terus berkembang. Kalau tidak ada yang mendorong, bakal diam di tempat.
Indonesia belum ada 5G, ya kami bawa teknologinya dengan bermitra.
Bagaimana potensi 5G untuk sektor business to consumer (B2C) dalam jangka panjang?
Saat uji coba, kecepatan 5G 550 Mbps. Bisa untuk apa? Apakah hanya untuk menonton YouTube? Kan bisa dengan 4G. Atau gim berbasis Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR)? Tetapi apakah perangkatnya siap?
Jadi, kami pasti akan masuk ke B2C. Ini seiring dengan ekosistem yang semakin berkembang. Jika sudah berkembang, otomatis kebutuhan 5G masuk ke konsumen.
Bagaimana komersialisasi 5G untuk B2B?
B2C akan berkembang seiring ekosistem. Jadi produk yang sudah ada akan bisa digunakan. Tidak ada produk khusus 5G yang kami berikan ke B2C. Namun, saat ada kebutuhan, pasti akan disesuaikan.
Kami sendiri punya paket freedom internet. Paket data ini cukup besar yakni hingga 100 Gigabyte (GB).
Untuk B2B, penerapan komersialisasi dengan menggaet kerja sama. Misalnya pabrik di Cikarang, Bekasi, membutuhkan solusi. Kami datang ke sana, khusus di pabrik itu kami sediakan 5G.
Kami membangun kemitraan jangka panjang misalnya, tiga tahun dan membuat harga bundling. Ini berbeda, karena sesuai kebutuhan.
Positioning dan persaingan dengan operator lain?
Positioning kami berbeda, yakni berfokus ke 5G yang bermanfaat. Perbedaan saat Indosat meluncurkan 5G yaitu kami bermitra. Internet 5G bukan hanya urusan menggelar jaringan, tapi juga usecase yang tepat untuk target yang tepat.
Kendala yang dihadapi Indosat dalam menggelar jaringan 5G di Indonesia?
Ekosistem saja yang menjadi kendala. Ini karena memang belum banyak yang punya usecase di Indonesia.
Kalau dari sisi pemerintah, sangat mendukung. Diskusi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sangat cepat. Kami tidak merasa kesulitan dari sisi perizinan. Asal sesuai prosedur, time-line bisa dikejar.
Bagaimana Indosat menyiapkan infrastruktur pendukung setelah adanya 5G?
Penyediaan jaringan 5G sekarang untuk infrastruktur menjadi bagian dari rencana tiga tahun. Sudah ada persiapan sejak 2019.
Bagaimana strategi mengatasi keterbatasan spektrum?
Keterbatasan itu kan kepada pemanfaatan. Kami lihat dari yang ditawarkan oleh Indosat itu pemanfaatannya cukup memadai. Targetnya harus tepat.
Target jangka pendek dari adanya 5G?
Kami fokus ke lima kota dulu. Hingga akhir tahun pasti ada kota-kota lain yang kami umumkan. Kami juga upayakan infrastruktur siap misalnya, kebutuhan spektrum yang sesuai dengan target pasar.
Indosat dikabarkan mengkaji merger dengan Tri. Bagaimana layanan 5G setelah bergabung?
Tidak akan berkaitan. Ini konsolidasi dari pemegang saham, Ooredoo Group dan Hutchison dari Hongkong. Mereka yang bernegosiasi.
Internet 5G sudah kami rencanakan berdasarkan blue print sejak 2019. Kami memperbaiki dulu internal, transformasi pegawai, bisnis dan lainnya.