Akunnya Diblokir, Donald Trump Gugat Facebook, Google dan Twitter

ANTARA FOTO/REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana/hp/cf
Ajeng Dinar Ulfiana Sebuah potongan karton mirip mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump diletakkan di meja untuk menjaga jarak sosial di restoran Hulu Noodle, di tengah penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di Jakarta, Indonesia, Kamis (4/3/2021).
8/7/2021, 13.41 WIB

Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengajukan gugatan kepada tiga perusahaan teknologi raksasa dunia yakni Twitter, Facebook, dan Google karean dianggap melakukan penyensoran pada akun media sosialnya (medsos). Gugatan perwakilan kelompok (class action) juga ditujukan ke tiga CEO perusahaan tersebut.

Dia meminta pengadilan federal di Florida agar mengakhiri penyensoran pada ketiga akun medsos miliknya. Menurut dia, jika ketiga perusahaan teknologi itu dapat menangguhkan akun medsos seorang presiden, maka hal serupa juga bisa dilakukan kepada siapa pun.

Dalam sebuah konferensi pers di Bedminster, New Jersey, Trump menuding perusahaan media sosial dan partai oposisi demokrat telah mendukung informasi salah.

“Kami menuntut shadow banning (shadowban/tindakan pemblokiran) ditiadakan, berhenti membungkam, meniadakan daftar hitam (blacklist), pelarangan (banishing), dan pembatalan (cancelling),” katanya, dilansir dari BBC International, Kamis (8/7).

Meskipun begitu, ketiga perusahaan teknologi tersebut belum menanggapi gugatan Trump di pengadilan federal di Floritda tersebut.

Sementara itu, Trump menilai postingan yang membuatnya diblokir Twitter merupakan “kalimat paling penuh kasih”. Sementara Twitter mengkonfirmasi bahwa cuitan mantan Presiden AS di 8 Januari justru “memuliakan kekerasan”, sehingga berujung pada pemblokiran akun.

Dalam cuitan awal tahun, Trump mengklaim berulang-ulang bahwa pemilihan presiden tahun ini dicurangi untuk mendukung kemenangan Joe Biden (Presiden AS saat ini). Aksi itu dilakukan Trump tanpa ada bukti kuat. Selain itu, Trump juga menyatakan tidak akan menghadiri pelantikan Biden.

Di hari yang sama, Rabu (7/7) sekutu Trump yakni partai republik merilis memo kepada Kongres yang menyatakan bahwa mereka akan mengambil alih Big Tech. Agenda itu sekaligus menyerukan langkah-langkah antitrust untuk memecah perusahaan, dan pembenahan undang-undang yang dikenal sebagai Section 230.

Section 230 merupakan undang-undang yang rencananya akan dicabut Trump ketika masih menjabat dulu. Di mana, perusahaan seperti Facebook dan Twitter tidak lagi bertanggung jawab atas hal-hal yang diposting pengguna akunnya. Pengguna akun tidak bisa dituntut atas konten di situs mereka.

Pembenahan pada Section 230 memungkinkan perusahaan teknologi untuk beroperasi dan berkembang tanpa perlu memoderasi konten. Dengan begitu, perusahaan hanya akan berperan sebagai platform.

“Ini adalah perlindungan tanggung jawab yang tidak seorang pun dalam sejarah negara kita yang pernah terima,” kata Trump.

Dia menambahkan, undang-undang tersebut menjadikan status perusahaan teknologi sebagai perusahaan swasta.

Di sisi lain, para ahli hukum memandang gugatan Trump sebagai kebiasaan mantan Presiden AS untuk mendapatkan perhatian media. Sayangnya, perhatian tersebut tidak secara agresif mendukung Trump, di mana argumen terkait kebebasan bicara juga akan dipertanyakan analis. Apalagi, ketiga perusahaan yang digugat Trump cenderung memiliki perlundungan kuat dalam menentukan konten di situs mereka.

Sebelumnya, Pidato Donald Trump pada hari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) akan mengesahkan hasil electoral college pemilu awal Januari 2021 dianggap memicu kerusuhan di Gedung Capitol.

Dia mengatakan, “inilah yang akan terjadi ketika kemenangan telak(nya) di pemilu yang sakral dilucuti dengan kejam”.

Sebelumnya, pada 20 Desember 2020, Trump telah mengajak para pendukungnya untuk melakukan protes besar-besaran pada 6 Januari 2021 untuk mendesak senat dan DPR AS mengesahkan kemenangan Biden-Harris.

“Protes besar di (Washington) DC pada 6 Januari, datanglah, (ini) akan menjadi liar,” cuitnya melalui @realdonaldtrump. Setelah itu Trump masih menyampaikan klaim-klaim tidak berdasar dan tanpa bukti bahwa partai Demokrat melakukan kecurangan pada pemilu.

Ribuan pendukung Trump pun datang pada tanggal tersebut dan mendengar ajakan sang presiden untuk berbaris ke Gedung Capitol untuk mengekspresikan kemarahan mereka atas (klaim) ketidakberesan pemilu. Mereka juga mendesak anggota partai republik yang duduk di senat dan DPR untuk menolak mengesahkan hasil pemilu.

Penyumbang bahan: Nada Naurah (magang)