Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang dipimpin oleh Nadiem Makarim, menggaet raksasa teknologi global seperti Google, Amazon, dan Huawei untuk mengatasi defisit talenta digital di Indonesia. Kerja sama ini diklaim bisa mencetak puluhan ribu pekerja per tahun.
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek Nizam mengatakan, penawaran atau supply utama talenta digital di Indonesia berasal dari kampus. Ia memperkirakan, universitas bisa menghasilkan 100 ribu sarjana di bidang teknologi digital per tahun.
Namun, itu tidak cukup untuk mengatasi defisit 600 ribu talenta digital per tahun. "Jadi kami mengimplementasikan program Kampus Merdeka agar memberi ruang mahasiswa belajar di luar subjek," kata Nizam dalam webinar Katadata dengan University of Technology Sidney (UTS) bertajuk The Future of the Digital Economy in Indonesia, Selasa (23/11).
Kementerian mengintegrasikan program Kampus Merdeka itu dengan program pelatihan dari Google, yakni Bangkit. Dalam 10 bulan terakhir, program ini menghasilkan 2.282 talenta digital baru. Materi yang diajarkan terkait mesin pembelajar atau machine learning hingga komputasi awan (cloud).
Kemendikbud Ristek juga menggaet Amazon Web Services (AWS) membuat program magang bersertifikat. Saat ini, sudah ada 639 peserta yang daftar.
Kemudian, ada program pelatihan industri bernama Cisco Academy yang merupakan hasil kerja sama dengan Cisco. Materi yang diberikan yakni keamanan siber, jaringan, hingga Internet of Things (IoT).
Selain itu, kementerian menggaet Huawei untuk membuat program pelatihan bersertifikat. Materi yang diajarkan seperti machine learning, IoT, dan teknologi internet generasi kelima atau 5G.
"Dari program-program itu diperkirakan ada 80 ribu talenta di bidang digital baru dalam setahun," kata Nizam.
Sebelumnya, riset McKinsey dan Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan sembilan juta tenaga digital hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu pekerja digital per tahun.
Vice-Chancellor UTS Professor Andrew Parfitt mengatakan, defisit talenta digital sebenarnya tidak hanya dialami oleh Indonesia, tapi juga negara lain di dunia. "Untuk mengatasinya, pemerintah dan universitas harus berkerja sama membangun lebih banyak program," katanya.
UTS misalnya, menjalankan berbagai strategi, seperti mengakomodasi kewirausahaan pada kurikulum maupun kegiatan ekstra kurikulum. Ini kemudian digunakan banyak mahasiswa untuk menciptakan perusahaan rintisan (startup).
Saat ini, UTS membina lebih dari 329 usaha rintisan yang dipimpin dan dikelola oleh mahasiswa.
Pengenalan pada pola berpikir kritis dalam kewirausahaan, dibarengi dengan penguasaan keilmuan, nantinya berkontribusi besar pada kemampuan para mahasiswa, baik ketika mereka memutuskan untuk membuat startup, berwirausaha maupun bekerja pada perusahaan.
“Pekerja dengan ketrampilan tinggi dan para insinyur lintas keilmuan akan menjadi kunci kesuksesan proses transformasi digital. Oleh karena itu, pembelajaran kemampuan digital baru harus diprioritaskan,” kata dosen di Fakultas Teknik dan Teknologi Informasi Universitas Teknologi Sydney Dr. Diep Nguyen.