Perusahaan teknologi di Amerika Serikat (AS), Cina, dan Korea Selatan mulai beralih ke dunia virtual metaverse. Ahli teknologi informasi (IT) menyarankan Indonesia tidak latah mengikuti tren dan memilih mengantisipasi lewat regulasi.
Peneliti teknologi informasi dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, metaverse memang menjadi tren dan potensial di masa depan. "Tapi jangan ikut latah menggemakan metaverse," katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (24/12).
Sebab, menurutnya teknologi metaverse mempunyai sejumlah kerawanan, seperti pelanggaran data pribadi. Perangkat metaverse akan menghasilkan lebih banyak data pribadi dibandingkan saat ini.
Perangkat metaverse akan dilengkapi dengan teknologi pelacakan mata, wajah, tangan, dan tubuh. Bahkan, sebagian perangkat mempunyai sistem elektroensefalogram (EEG) yang dapat merekam aktivitas otak.
Metaverse juga membuat interaksi fisik menjadi berkurang. "Jangan sampai membuat aktivitas sosial masyarakat tercerabut dari akar budaya, tradisi, termasuk memberikan ekonomi ilusi," katanya.
Menurutnya, Indonesia lebih baik bersikap antisipatif. Salah satunya, menentukan tujuan dan strategi pengembangan teknologi yang jelas, serta menyiapkan regulasi.
"Regulasi ini menyangkut perlindungan data pribadi. Jangan sampai ketika masuk ke dunia virtual, data pribadi masyarakat bocor ke mana-mana dan disalahgunakan," katanya.
Peneliti keamanan siber dari Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persada sepakat bahwa teknologi metaverse membutuhkan banyak sekali data pribadi. "Ini akan dipakai di dalam metaverse," katanya.
Menurutnya, apabila regulasi data pribadi tidak disiapkan, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa saat data bocor di era metaverse . "Ini karena tidak ada instrumen yang melindungi," katanya.
Apalagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi belum juga rampung. Ia menyarankan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan teknologi metaverse itu ke regulasi ini atau produk turunannya.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan mengatakan, semua data pribadi, baik elektronik ataupun non-elektronik, serta agregasinya, akan menjadi subjek dalam RUU Perlindungan Data Pribadi.
"Tinggal nanti diatur apakah metaverse data virtual ini diperbolehkan melakukan targeting kepada audience tertentu atau tidak," kata Farhan.
Ia juga mengatakan, bila teknologi metaverse masif di Indonesia, mesti ada regulasi turunan yang lebih detail mengatur penggunaan data pribadinya.
Metaverse merupakan versi teranyar dari virtual reality (VR) tanpa komputer. Pengguna teknologi ini dapat memasuki dunia virtual menggunakan headset yang terhubung dengan peralatan digital.
Gambaran metaverse disebut-sebut seperti yang ada di film Ready Player One atau Free Guy, menurut beberapa media asing dan analis.
Raksasa teknologi Cina Baidu pun mengatakan, peralihan penuh ke dunia virtual dapat terjadi dalam enam tahun atau pada 2027.
Sedangkan pendiri Microsoft Bill Gates memperkirakan, transformasi bisa terjadi dalam dua atau tiga tahun. Ia memprediksi, pertemuan kantor di dunia virtual menjadi tren pada 2023 atau 2024.
Dua pekan lalu, induk Facebook, Meta membuka aplikasi dunia virtual Horizon Worlds di AS dan Kanada. Namun platform ini baru tersedia untuk pengguna di atas 18 tahun.
Analis Ekuitas Senior Wedbush Securities Dan Ives menyampaikan, Baidu yang memperkirakan baru beralih ke dunia virtual dalam enam tahun, mengecewakan bagi investor. “Sebab mereka akan kehilangan pasar metaverse besar ini selama tahun-tahun mendatang,” kata Ives dikutip dari CNBC Internasional, Jumat (24/12).
Ia memperkirakan, monetisasi metaverse dimulai pada 2024 dan tumbuh ke skala yang lebih besar pada tahun berikutnya.