Pengadilan Australia memerintahkan Google membayar ganti rugi kepada pejabat sekaligus mantan anggota parlemen di negara itu bernama John Barilaro. Besaran biaya yang harus dibayarkan yakni US$ 515 ribu atau Rp 7,4 miliar.

Google diminta ganti rugi karena konten fitnah di YouTube. Pejabat tersebut sebelumnya difitnah oleh pembuat konten bernama Jordan Shanks dengan nada rasis dan kasar.

Shanks mengunggah video dan berulang kali menyebut Barilaro merupakan pejabat korup di videonya tanpa mengutip bukti kredibel. Konten ini telah dilihat hampir 800 ribu kali sejak diunggah pada 2020.

Shanks memiliki 625 ribu pelanggan atau subscriber YouTube dan 346 ribu pengikut di Facebook.

Akibat konten fitnah itu, Barilaro keluar dari politik. Hakim di Pengadilan Australia Steve Rares menganggap bahwa konten Shanks itu sudah masuk dalam ujaran kebencian.

Rares juga mengatakan, Google melanggar kebijakan sendiri yakni terkait melindungi tokoh masyarakat agar tidak menjadi sasaran ujaran kebencian secara tidak adil.

"Google ‘mengusir’ Barilaro sebelum waktunya dari layanan pilihannya dalam kehidupan publik dan membuatnya trauma secara signifikan," kata Rares dikutip dari Reuters, Senin (6/5). 

Pengadilan Australia pada Senin (6/5) telah memerintahkan Google untuk membayar ganti rugi kepada Barilaro.

Barilaro mengatakan, keputusan pengadilan itu membuat namanya menjadi lebih bersih. "Ini bukan tentang uang ganti rugi. Ini tentang permintaan maaf dan penghapusan," katanya.

“Tentu saja, sekarang permintaan maaf tidak ada gunanya setelah kampanye berlanjut,” tambah dia.

Google sebelumnya membantah video pengguna memuat tuduhan atau fitnah. Perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini menganggap bahwa pembuat konten memiliki hak atas pendapat yang dipegang teguh secara jujur dan harus dilindungi oleh hak dalam mengkritik politisi.

Australia memang menjadi negara yang mengatur ketat tanggung jawab hukum platform digital seperti Google hingga Facebook. Pada 2021, surat kabar di Australia memuat artikel di Facebook dan dikomentari dengan nada memfitnah oleh pembacanya.

Alhasil, surat kabar tersebut diminta untuk bertanggung jawab atas ujaran kebencian.

"Platform digital juga harus diberitahu bahwa ada konten yang bernada memfitnah dan platform jangan membiarkannya," kata spesialis hukum media di University of Sydney David Rolph.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan