Lembaga riset South Center juga menyebutkan, moratorium dari WTO membuat negara berkembang kehilangan pendapatan tarif hingga US$ 56 miliar selama 2017 - 2020. Padahal, impor barang digital terus meningkat. 

“Mereka tidak hanya kehilangan ruang fiskal tetapi juga ruang regulasi, karena tidak dapat mengatur pertumbuhan impor produk digital, terutama barang-barang mewah seperti film, musik, dan video game,” kata South Center.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa transaksi digital perlu diatur untuk mencegah berbagai potensi risiko, seperti risiko penyalahgunaan. 

Ia mencontohkan, teknologi printing 3D yang akhir-akhir ini semakin populer dan memungkinkan penggunanya memproduksi barang-barang berpotensi membahayakan keselamatan umum. Oleh karena itu, hal ini perlu diatur pemerintah.

"Misalnya seperti senjata api dan bahan peledak, hanya dengan cetak biru itu bisa ditransmisikan secara digital," ujar Menkeu Sri Mulyani dalam acara International Conference on Digital Transformation in Customs seperti dikutip dari Antara, tahun lalu (16/3/2021).

Transaksi digital juga berpotensi memudahkan penggelapan pajak, pelanggaran hak kekayaan intelektual hingga transaksi memfasilitasi kejahatan terorganisasi di bidang pencucian uang.

Namun, kepala eksekutif Asosiasi Industri Semikonduktor yang berbasis di Amerika Serikat (AS) John Neuffer mengatakan, aliran data bebas tarif sebenarnya sangat penting bagi negara-negara yang ingin menarik perusahaan asing. Perusahaan juga bisa menawarkan manfaat yang jelas bagi konsumen dan usaha kecil.

Sedangkan, penghentian moratorium dinilai berpotensi mengurangi kehadiran perusahaan-perusahaan itu di sejumlah negara. "Banyak risiko apabila moratorium tidak diperpanjang, salah satunya adalah jika satu atau dua pergi, itu memicu yang lainnya melakukan hal yang sama," katanya.

Halaman:
Reporter: Fahmi Ahmad Burhan