Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan pemanasan iklim global mengakibatkan hasil panen menurun hingga gagal tanam. Pada akhirnya, hal itu turut berdampak buruk pada ketahanan pangan nasional.
"Ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam Focus Group Discussion (FGD) Perhimpunan Agronomi Indonesia seperti dikutip pada siaran pers, Jumat (7/7).
Dia menjelaskan suhu bumi secara global naik 1,2 derajat celsius saat ini. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan.
"Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi," kata Dwikorita.
Menurut Dwikorita, bencana kelaparan seperti yang diprediksi Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO akan terjadi pada 2050 adalah ancaman nyata. Terlebih, krisis pangan akan benar-benar terjadi jika tidak ada langkah kongkret untuk mengatasi krisis iklim. Situasi ini bukan hanya menjadi ancaman bagi Indonesia dan negara-negara berkembang saja, melainkan seluruh negara-negara dunia.
"Tahun 2050 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan menembus angka 10 miliar. Jika ketahanan pangan lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim," imbuhnya.
Dwikorita menuturkan, tidak sedikit yang beranggapan bahwa ancaman perubahan iklim dan krisis pangan belum terlalu terlihat di Indonesia. Pasalnya, ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.
Namun, kata dia, jika situasi iklim global saat ini tidak direspons secara serius, maka Indonesia bisa terlambat untuk mengantisipasi bencana kelaparan pada 2050.
Ketahanan pangan nasional Indonesia, lanjut Dwikorita, dihadapkan pada tantangan besar berupa kenaikan populasi penduduk di tengah produksi pangan yang cenderung stagnan.