Pemerintah Indonesia ingin mengadopsi teknologi internet 6G pada 2030. Padahal, penerapan teknologi 5G di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi tantangan.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo dibantu oleh akademisi, selesai membuat beberapa rancangan peraturan 5G pada 2021, termasuk peraturan alokasi frekuensi 5G dan peta jalan 6G untuk 2030,” demikian dikutip dari laporan terbaru Asosiasi IOT Indonesia atau ASIOTI dengan Bisnis Indonesia Intelligence Unit, Kamis (9/11).

Kepala Riset BIIU Dias Rima Sutiono mencatat, beberapa pelaku industri tidak puas dengan layanan internet 4G. Mereka pun sangat berharap untuk dapat segera menawarkan layanan 5G Private Network.

Namun untuk dapat menyediakan layanan 5G yang prima diperlukan alokasi spektrum frekuensi tambahan melengkapi spektrum berlisensi 3G dan 4G.

“Industri infrastruktur digital sangat menantikan kebijakan pemerintah untuk menambah alokasi frekuensi 5G,” kata Dias dalam forum diskusi bertajuk ‘5G is now – Opening the Gateway to Future Growth and Development’ di Jakarta, Kamis (9/11).

Ia mengatakan, industri siap untuk mulai menerapkan teknologi 5G dan AI. Namun, masih ada berbagai tantangan yang perlu diatasi, seperti biaya, kompatibilitas teknologi, dan kesenjangan keterampilan. 

“Pemerintah dan stakeholder industri perlu berkolaborasi untuk memastikan teknologi 5G dapat mencakup area yang luas, menetapkan peraturan yang mendukung, dan mendorong penggunaan teknologi ini di berbagai sektor,” ujarnya.

Asosiasi Industri Seluler Global atau GSMA memperkirakan, Indonesia bisa kehilangan potensi manfaat dari pemanfaatan 5G Rp 216 triliun selama 2024 – 2030 karena harga pita spektrum meningkat.

Laporan BIIU menunjukkan, 55% perusahaan pada vertikal industri membutuhkan spektrum frekuensi, baik untuk sendiri maupun berbagi dengan pelanggan. Perusahaan-perusahaan ini membutuhkan layanan dengan kecepatan tinggi dan kapasitas transmisi besar yang dapat dilayani dengan teknologi 5G.

Selain itu, pemanfaatan 5G yang terintegrasi dengan teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) dapat mendorong layanan, seperti kesehatan, terutama di daerah terpencil.

Namun adopsi teknologi 5G dan AI menghadapi sejumlah tantangan seperti:

  • Biaya peningkatan teknologi
  • Kompatibilitas dengan sistem yang ada
  • Kurangnya keterampilan yang tersedia di dunia kerja
  • Masalah keamanan
  • Persyaratan peraturan 
  • Kurangnya kematangan teknologi
  • Lama pengembalian investasi (ROI) yang diharapkan

Berdasarkan laporan GSMA bertajuk ‘Biaya Spektrum Berkelanjutan untuk Memperkuat Ekonomi Digital Indonesia’ memperkirakan biaya total spektrum tahunan bagi operator seluler di Tanah Air meningkat lebih dari lima kali lipat sejak 2010. Padahal pendapatan industri menurun 48% sejak 2010.

Rasio biaya spektrum frekuensi tahunan dibandingkan pendapatan seluler di Indonesia saat ini berada pada level 12,2%. Rasio rata-rata di Asia Pasifik hanya 8,7% dan global 7%. 

Sementara itu, penetrasi 5G di Indonesia baru 1% per tahun lalu. Porsinya diperkirakan mencapai 32% pada 2030.

GSMA pun merekomendasi agar pemerintah mempercepat penambahan frekuensi 5G untuk industri. Lalu, membuka peluang beroperasinya 5G private network pada vertikal industri yang memiliki kebutuhan 5G di daerah pelosok.

Selain itu, mendorong Badan Siber dan Sandi Negara atau BSSN membuat regulasi keamanan data.

Reporter: Lenny Septiani