Dunia saat ini bukan hanya menghadapi pandemi Covid-19, tetapi juga masalah perubahan iklim. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan mengatakan, kedua tantangan yang dihadapi dunia bahkan memiliki karakteristik yang sama.
"Kedua masalah ini, Covid-19 dan perubahan iklim adalah dua masalah yang memiliki kesamaan, yaitu persoalan yang tidak memiliki batas dari negara," kata Sri Mulyani saat menjadi keynote speaker di SAFE Forum 2021 yang diselenggarakan Katadata, Kamis (26/8/2021) di sesi Financing Sustainability.
Bendahara negara itu mengatakan, dampak perubahan iklim akan memberatkan bukan hanya pada penduduk miskin tetapi juga penduduk kaya. Kendati demikian, seperti halnya Covid-19, negara-negara yang memiliki fasilitas kesehatan juga akses vaksinasi yang terbatas berpeluang lebih menderita, baik secara sosial maupun ekonomi.
Kemiripan lainnya yakni perubahan iklim juga memerlukan kolaborasi semua negara dunia. Salah satu kerjasama internasional yang juga diikuti Indonesia yaitu Paris Agreement atau Kesepakatan Paris yang dilakukan sejak 2015 silam.
Berbagai negara menyepakati satu tujuan yang sama, yaitu menghindari kenaikan temperatur bumi di atas 1,5 derajat celcius. Sri Mulyani menyebut, kesepakatan tersebut menyediakan ruang bagi setiap negara berkomtimen untuk bertanggungjawab menurunkan emisi sesuai kondisi objektifnya masing-masing.
"Setiap negara baik level pembangunan maupun pendapatan per kapita, semuanya memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap perubahan iklim. Negara memiliki tanggung jawab yang berbeda untuk tujuan yang sama," ujarnya.
Indonesia sendiri, menurut dia, telah berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri. Targetnya bahkan lebih ambisus lagi jika mendapat bantuan global, yakni pengurangan emisi hingga 41%.
Selain kolaborasi dalam bentuk pertemuan negara-negara peserta Kesepakatan Paris setiap tahunnya, kerja sama juga dilakukan melalui pembiayaan. Hal ini karena Sri Mulyani menilai pembiayaan yang sudah disediakan pemerintah saat ini masih belum cukup untuk mencapai target bebas karbon tahun 2060.
Kebutuhan pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim Indonesia mencapai US$ 247 miliar atau setara Rp 3.461 triliun yang digunakan untuk menghilangkan 1.081 juta ekuivalen CO2 . Sekalipun pemerintah tiap tahun rutin menarik anggaran APBN untuk perubahan iklim, ia mengatakan, jumlahnya masih kurang.
"Budget taging kita untuk perubahan iklim sejak lima tahun terakhir mengalokasi 4,1% dari APBN. Uni angkanya pasti tidak mencukupi untuk mencapai target US$ 247 miliar," kata Sri Mulyani dalam sebuah diskusi virtual.
Oleh karena itu, Sri Mulyani menekankan perlunya memobilisasi dana yang berasal dari swasta, baik domestik maupun global untuk membantu APBN mencapai target ambisius tersebut. Investor dapat diarahkan untuk membantu reformasi sektor energi dan transportasi, penangan limbah, serta menjaga sektor kehutanan.
Dia juga menilai keberadaan aturan omnibus law cipta kerja dapat memberi dukungan terhadap investasi di sektor penanganan perubahan iklim. Ini terutama untuk mendukung proyek-proyek hijau maupun proyek yang berorientasi pada mitigasi dan adaptasi.
Selain melalui penyederhanaan administrasi, dukungan untuk menarik sektor swasta mendanai penangan perubahan iklim juga dilakukan dengan memberikan sejumlah relaksasi perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut termasuk penghapusan PPN, tax holiday serta tax allowance.