Bappenas Targetkan Pemulihan 1,6 Juta Ha Gambut hingga 2024

ANTARA FOTO/Ario Tanoto/mz/wsj.
Petugas pemadam kebakaran dan relawan PMI melakukan proses pendinginan lahan gambut yang terbakar di Desa Natai Baru, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (2/1/2023).
2/2/2023, 14.26 WIB

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menargetkan pemulihan 1,6 juta hektare lahan gambut dan merehabilitasi 50.000 hektare hutan mangrove hingga 2024.

Target tersebut dituangkan dalam dokumen strategi nasional (stranas) pengelolaan lahan basah. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Bappenas, Vivi Yulaswati mengatakan stranas ini diperlukan sebab terdapat perubahan di ekosistem lahan basah.

Perubahan suhu, tata guna lahan,  hingga kerusakan kawasan pesisir menjadi penyebabnya. Perubahan ekosistem ini kemudian mengurangi fungsi dari lahan basah.

“Harapannya stranas ini bisa menjadi dasar sinkronisasi untuk inisiatif lahan basah, baik dari pemerintah maupun non pemerintah ,” ujarnya dalam peluncuran dokumen Stranas, Kamis (2/2).  

Dokumen stranas ini fokus pada dua ekosistem yakni gambut dan mangrove yang diketahui dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. 

Vivi memaparkan Indonesia memiliki lahan gambut seluas 13,4 juta hektare atau setara 82% luas lahan gambut di Asia Tenggara. Lahan ini menyimpan cadangan karbon sebanyak 558 hingga 2740 ton karbon per hektare.

Indonesia juga menjadi negara dengan hutan mangrove terluas di dunia yang mencapai 3,3 juta hektare. Lahan basah ini bisa menyimpan kurang lebih 950 ton karbon per hektare. 

Sayangnya,  analisis peta lahan gambut nasional pada 2011 hingga 2019, Indonesia kehilangan sekitar 175.000 hektare lahan gambut per tahun. Nilai ini setara dengan 1,3% dari total lahan per tahun. Menurut dokumen tersebut, faktor utama kerusakan gambut adalah drainase ekosistem gambut yang membuat lahan rentan terbakar. 

“Hal ini berujung pada tingginya risiko kebakaran hutan gambut yang menyebabkan adanya emisi karbon dan kehilangan lapisan gambut. Lahan tersebut pun menjadi tidak produktif,” tulis dokumen ini. 

Mangrove pun mengalami deforestasi. Berdasar analisis data Peta Penutupan Lahan 2015-2020, rata-rata laju kerusakan ekosistem mangrove sebesar 26.121 hektare. Angka ini jauh lebih besar dari laju deforestasi di negara-negara Asia Tenggara lain, sebesar 9.535 hektare per tahun. 

Selang waktu 10 tahun terakhir, penyebab deforestasi mangrove terbesar adalah alih fungsi pembukaan tambak, baik langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, alih fungsi pembukaan tambak dimulai dengan alih fungsi menjadi lahan dengan vegetasi rendah.

Profesor IPB University sekaligus Principal Scientist Center for International Forestry Research (CIFOR), Daniel Murdiyarso menjelaskan konservasi lahan basah berbeda dengan hutan pada umumnya. Lahan basah butuh waktu lebih lama untuk terbentuk, bila dibandingkan dengan lahan kering seperti hutan. Daniel bahkan pernah menemukan gambut berusia 13.500 tahun. 

“Jadi kenapa konservasi itu penting? Karena ini barang antik. Rusaknya mangrove dan gambut yang tidak dikonservasi berarti peradaban juga rusak. Kita bangsa Austronesia identik dengan mangrove,” jelasnya. 

Pengelolaan mangrove dan gambut ini tidak berhenti hingga 2024. Strategi ini akan diinternalisasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. 

Terdapat empat aspek utama yang akan disasar, mulai dari meningkatkan tutupan lahan, menurunkan emisi gas rumah kaca, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan perekonomian.

Reporter: Amelia Yesidora