Pangkas Emisi Gas Metana, KLHK Akan Hentikan Pembangunan TPA di 2030

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/nym.
Relawan membentangkan spanduk di area tumpukkan sampah TPA Cipayung, Depok, Jawa Barat, Rabu (31/5/2023). Aksi tersebut sebagai bentuk sindiran kepada Pemerintah Kota Depok akibat sampah yang menumpuk sudah melebihi kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung.
16/6/2023, 18.03 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana menghentikan pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah baru pada 2030. 

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan pemerintah ingin mengurangi polusi gas metana dari sampah dan limbah yang berasal dari TPA. Mulai 2030, TPA hanya akan dipakai untuk pembuangan residu yang tidak diolah secara ekonomis. 

“Kita optimistis di 2030 sudah tidak ada lagi TPA baru,” katanya, Jumat (16/6). 

Seiring dengan rencana tersebut, KLHK mendorong pengelolaan 100% sampah di hulu dan hilir. Vivien mengatakan pemerintah akan mengolah 70% sampah menjadi produk ekonomis dan mengurangi 30% sisanya. 

Di sektor rumah tangga misalnya, Vivien menghimbau untuk menangani sampah secara mandiri. Ini bisa dilakukan dengan pengomposan atau budidaya maggot untuk sampah organik dan memilah sampah anorganik. 

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada 2022, Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah. Sekitar 18,5% dari volume sampah tersebut berupa sampah plastik.

Vivien mengatakan setiap satu ton sampah padat mampu menghasilkan 50 kilogram gas metana. Berdasarkan Indeks Potensi Pemanasan Global atau Global Warming Potential (GWP), emisi metana mempunyai efek 21 kali lipat dibandingkan emisi karbon dioksida.

Salah satu upaya untuk mengurangi arus sampah ke TPA adalah dengan membangun fasilitas pengolahan sampah menjadi bahan bakar alternatif atau Refuse Derived Fuel (RDF). Upaya ini sudah mulai diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang membangun RDF di TPA Bantar Gebang, Bekasi.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan di RDF ini sekitar 1.000 ton sampah lama akan dicampur dengan 1.000 ton sampah baru dan diolah menjadi bahan bakar alternatif. 

“Nilai kalor RDF ini setara batu bara muda dan dapat menjadi bahan bakar alternatif,” kata Asep, Februari silam. 

Asep menuturkan sampah dari Jakarta per hari rata-rata mencapai sekitar 7.500 ton. Ia menyebut fasilitas pengolahan sampah RDF itu ditargetkan menjadi pusat energi baru terbarukan (EBT). RDF itu akan menggantikan batu bara dan menjadi bahan bakar ramah lingkungan dan dimanfaatkan industri semen. 

Menurut Asep, saat ini sudah ada dua perusahaan yang akan membeli produk RDF yakni PT Indocement Tunggal Prakarsa dan PT Solusi Bangun Indonesia (SBI).

Reporter: Rezza Aji Pratama