Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan saat ini sedang terjadi krisis air di beberapa negara akibat perubahan iklim. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terbukti meningkat pesat.
Dwikorita memaparkan laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization) atau WMO yang menyatakan bahwa kerugian akibat krisis iklim mencapai US$ 1.476,2 miliar selama periode 2010 - 2019. Angka tersebut melonjak signifikan dibandingkan dengan dekade 2000 - 2009 yang tercatat sebesar US$ 997,9 miliar.
Sementara dalam kurun waktu 1990 - 1999, kerugian yang terjadi berkisar US$ 906,4 miliar. "Pada dekade 1980 - 1989, kerugian akibat iklim hanya sebesar US$305,5 miliar," ujarnya melalui keterangan resmi, Selasa (17/10).
Dampak pada Negara Kepulauan Paling Besar
Selain itu, WMO juga menyebutkan sebesar 60% kerugian bencana di negara maju terjadi akibat perubahan iklim, namun dampak terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut hanya sekitar 0,1%.
Sementara untuk negara berkembang, 7% dari bencana bisa menyebabkan hantaman kuat hingga 5-30% terhadap PDB mereka. Sementara bagi negara kepulauan, 20 % dari bencana dapat berakibat kerugian hingga 50% bagi PDB mereka.
“Bagi beberapa negara, bahkan bisa mengakibatkan kerugian hingga 100% ke PDB,” ujar Dwikorita.
Menurut dia, negara-negara maju mungkin menganggap persoalan tersebut adalah persoalan sepele. Namun bagi negara berkembang, kepulauan, dan miskin persoalan itu dampaknya bisa sangat parah kemana-mana karena ketidakberdayaan mereka.
Disisi lain, dia mengatakan situasi tersebut akan semakin memperparah kesenjangan ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan dan ketangguhan masyarakat dalam beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim.
Untuk itu BMKG menyebut perpaduan teknologi dan kearifan lokal (local wisdom) menjadi jurus ampuh dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dwikorita menegaskan, kepemilikan teknologi yang mumpuni dapat meminimalisir risiko bencana akibat perubahan iklim yang dihadapi.
Dwikorita mncontohkan bagaimana BMKG berperan sebagai penyedia informasi dan data cuaca dan iklim. Lewat data dan informasi tersebut, daerah-daerah bisa melakukan berbagai langkah pencegahan, mitigasi ataupun pengurangan risiko bencana, sebelum bencana terjadi.
Dalam beberapa dekade terakhir, becana alam terkait perubahan iklim cenderung meningkat di skala global. Hal ini tercatat dalam laporan Bank Dunia yang bertajuk The Atlas of Sustainable Development Goals 2023.
Berdasarkan klasifikasi The International Disasters Database yang dikutip Bank Dunia, ada lima jenis bencana terkait iklim, yaitu kekeringan, suhu ekstrem, badai, kebakaran hutan/lahan, dan banjir besar.
Salah satu contohnya adalah banjir besar di Pakistan pada Agustus 2022. Banjir yang terjadi akibat hujan deras selama beberapa minggu itu merendam sekitar sepertiga wilayah Pakistan dan berdampak pada 33 juta penduduknya.
Banjir tersebut juga memaksa 8 juta penduduk Pakistan untuk mengungsi, menewaskan sekitar 1.700 orang, serta merusak infrastruktur dengan nilai kerugian ditaksir mencapai Rpv149 triliun.
Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, 69% masyarakat Indonesia pun setuju bahwa semua orang harus melakukan gerakan mengurangi dampak perubahan iklim.
Tak hanya itu, 66% warga pun bersedia ditarik pajaknya untuk mengatasi krisis iklim. Sebanyak 43% responden mengaku mau mengeluarkan uang sekitar Rp 0 - Rp 30 ribu untuk pajak mengatasi krisis iklim.