Pemerintah tengah menggodok insentif bagi industri yang menggunakan plastik daur ulang pada kemasannya. Insentif tersebut salah satunya melalui pengurangan pajak.
Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rofi Alhanif, mengatakan insentif tersebut bukan hanya berupa fiskal tapi bisa dalam bentuk lainnya. Namun, dia belum mau menjelaskan secara detail mengenai insentif tersebut.
"Jadi insentif itu bisa jadi penghargaan atau kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah, saya belum bisa memastikan modelnya seperti apa, tetapi misalnya seperti pengurangan pajak,“ kata dia di Jakarta, Selasa (14/11).
Salah satu industri yang mulai menggunakan botol plastik daur ulang pada kemasannya adalah Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia, melalui anak usahanya PT Amandina Bumi Nusantara (Amandina). Mereka bahkan menjadi perusahaan pertama di Indonesia yang mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) kemasan daur ulang.
Board of Commissioner Member, Amandina Bumi Nusantara, Lucia Karin, mengatakan pemerintah seharusnya memberikan kebijakan insentif fiskal kepada perusahaan yang telah menerapkan penggunaan daur ulang kemasan Polyethylene Terephthalate (rPET). Dengan demikian, semakin banyak perusahaan yang terdorong untuk menggunakan kemasan daur ulang.
Dia mengatakan, insentif fiskal yang dimaksud yaitu, pengurangan pajak atau subsidi lainnya.
“Jadi ini yang harus dilakukan pemerintah jika ingin perusahaan lainnya juga berkomitmen dalam bisnis ramah lingkungan atau berkelanjutan,” kata dia.
Lucia mengatakan, Coca-Cola Indonesia menargetkan 100% kemasan dapat didaur ulang pada tahun 2025. Mereka juga mengatakan penggunaan plastik daur ulang pada 50% produk mereka.
Tak hanya itu, Coca-Cola juga menargetkan bisa menghilangkan penggunaan plastik murni dalam semua kemasan pada tahun 2030. Mereka bertekad mengumpulkan serta mendaur ulang semua kemasan plastik dan kaleng yang mereka jual pada tahun yang sama.
Indonesia diperkirakan menghasilkan 5,8 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik setiap tahun. Sebagian besar sampah ini berakhir di tempat pembakaran yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Laporan terbaru lembaga nirlaba The Circular Initiative menunjukkan Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak membakar plastik di Asia Tenggara. Setiap tahun, pembakaran sampah plastik di Indonesia menghasilkan emisi hingga 13,7 juta ton karbon ekuivalen.
Laporan bertajuk ‘The Climate Benefits of Plastic Waste Management in India and Southeast Asia’ itu menyoroti pengelolaan sampah plastik di India, Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Jika digabungkan, keenam negara tersebut menghasilkan 21,4 juta ton sampah plastik per tahun.
Para peneliti merancang skenario jika sampah plastik tersebut berhasil dikelola dengan baik, ada sekitar 228,9 juta ton karbon ekuivalen yang akan berhasil dihindari. Ini setara dengan mematikan 61 pembangkit listrik batu bara.
Pembakaran sampah plastik menjadi salah satu penyumbang tertinggi emisi karbon. Setiap satu ton plastik yang dibakar akan menghasilkan tiga ton emisi karbon. “Berinvestasi di bisnis dan infrastruktur yang mengalihkan pembakaran plastik menjadi upaya daur ulang akan menjadi kunci utama pengurangan emisi di sektor limbah,” tulis para peneliti dalam laporan tersebut.
Sementara itu, mengaca pada data Kementerian KLHK, terdapat 28,8 juta ton sampah yang dihasilkan Indonesia pada 2022. Dari jumlah tersebut, 18,5% berupa sampah plastik.
Sayangnya, hanya 18,4 juta ton sampah atau 65% yang berhasil dikelola. Adapun sisanya, 10,32 juta ton sampah atau 35% tidak terkelola.