Studi Terbaru: Daur Ulang Sampah Plastik Dapat Tekan 69% Emisi GRK

ANTARA FOTO/Syaiful Arif/rwa.
Kader lingkungan membuat ecobrik di Kelurahan Kaliwungu, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Selasa (29/8/2023). Pemberdayaan ibu-ibu kader lingkungan dalam pembuatan ecobrik tersebut sebagai upaya mengurangi sampah plastik dengan mengolahnya menjadi barang yang lebih bermanfaat, contohnya sebagai pengganti batu bata, pembuatan sofa sofa, meja, kursi dan barang rumah tangga lainnya.
22/11/2023, 16.41 WIB

Studi yang dilakukan Ellen MacArthur Foundation menyatakan daur ulang kemasan plastik secara luas dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 69%. Skema daur ulang sampah juga dapat mengurangi penggunaan air sebesar 45% hingga 70%, dan penggunaan material sebesar 45% hingga 76%.

Namun, mereka mengakui skema tersebut masih sulit untuk dilakukan. Masyarakat perlu mendapatkan sosialisasi yang lebih tinggi terhadap penggunaan kembali kemasan plastik daur ulang.

Selain itu, Ellen MacArthur Foundation menyarankan kepada para perusahaan minuman kemasan untuk memproduksi botol yang bisa didaur ulang dibandingkan dengan botol yang hanya sekali pakai. Cara tersebut dapat mengurangi jumlah sampah dan emisi.

“Hal itu juga akan menghasilkan biaya produksi yang jauh lebih rendah untuk botol minuman, dan konsumen bisa mengembalikan kemasan botol itu kepada penjual,” kata Ellen MacArthur Foundation yang dikutip dari Reuters, Rabu (22/11). 

Daur ulang juga membutuhkan infrastruktur untuk pengumpulan pengemasan terstandarisasi dan pooling. Kebijakan tersebut akan mendorong bisnis yang lebih berkelanjutan. 

"Sekarang tekanannya ada pada pembuat kebijakan dan pada pemimpin bisnis di sektor barang konsumen yang bergerak cepat untuk mengubah praktik mereka," kata Manajer Ekonomi melingkar di Biro Lingkungan Eropa, Jean-Pierre Schwetizer. 

RI Diprediksi Hasilkan 5,8 Juta Ton Sampah Plastik

Sebelumnya, Indonesia diperkirakan menghasilkan 5,8 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik setiap tahun. Sebagian besar sampah ini berakhir di tempat pembakaran yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. 

Laporan terbaru lembaga nirlaba The Circular Initiative menunjukkan Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak membakar plastik di Asia Tenggara. Setiap tahun, pembakaran sampah plastik di Indonesia menghasilkan emisi hingga 13,7 juta ton karbon ekuivalen. 

Laporan bertajuk ‘The Climate Benefits of Plastic Waste Management in India and Southeast Asia’ itu menyoroti pengelolaan sampah plastik di India, Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Jika digabungkan, keenam negara tersebut menghasilkan 21,4 juta ton sampah plastik per tahun. 

Para peneliti merancang skenario jika sampah plastik tersebut berhasil dikelola dengan baik, ada sekitar 228,9 juta ton karbon ekuivalen yang akan berhasil dihindari. Ini setara dengan mematikan 61 pembangkit listrik batu bara.

Pembakaran sampah plastik menjadi salah satu penyumbang tertinggi emisi karbon. Setiap satu ton plastik yang dibakar akan menghasilkan tiga ton emisi karbon. 

“Berinvestasi di bisnis dan infrastruktur yang mengalihkan pembakaran plastik menjadi upaya daur ulang akan menjadi kunci utama pengurangan emisi di sektor limbah,” tulis para peneliti dalam laporan tersebut. 

Sementara itu, mengaca pada data Kementerian KLHK, terdapat 28,8 juta ton sampah yang dihasilkan Indonesia pada 2022. Dari jumlah tersebut, 18,5% berupa sampah plastik. Sayangnya, hanya 18,4 juta ton sampah atau 65% yang berhasil dikelola. Adapun sisanya, 10,32 juta ton sampah atau 35% tidak terkelola. 

Sejumlah rumah tangga Indonesia sebenarnya sudah mengetahui soal pemilahan sampah organik dan anorganik. Sayangnya pengetahuan itu belum didorong dengan tindakan pemilahannya.

Hal itu selaras dengan laporan Statistik Perumahan dan Permukiman 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa sebanyak 39,92% dari 75 ribu rumah tangga sampel survei mengetahui pemisahan sampah tetapi tidak melakukannya. Rinciannya, rumah tangga perkotaan sebesar 46,63%, sedangkan perdesaan 30,76%.

 Proporsi itu terpaut tipis dengan rumah tangga yang tidak tahu dan tidak melakukan pemilahan sampah, sebesar 39,87%. Ketidaktahuan ini lebih banyak dialami rumah tangga perdesaan sebesar 49,83%, sedangkan perkotaan sebesar 32,56%.
Reporter: Nadya Zahira