Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani krisis iklim , 350.org Indonesia, menilai pendanaan untuk transisi energi yakni Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak adil. Pasalnya, besaran dana hibah yang dialokasikan dari komitmen kemitraan JETP itu lebih kecil dibandingkan jumlah pinjaman komersial.
Adapun dana hibah JETP tersebut hanya sebesar US$ 295,4 juta atau setara dengan Rp 4,6 triliun. Sebagian dana ini ada yang digunakan untuk bantuan teknis di program tertentu hingga pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sedangkan dana pinjaman komersial dari JETP jumlahnya jauh lebih besar, termasuk pendanaan swasta yang diinisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$ 10 miliar atau setara dengan Rp 156 triliun.
Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Pengkampanye 350 org Indonesia, Suriadi Darmoko, mengatakan dana JETP merupakan bagian dari aksi iklim yang tanggung jawabnya dipegang oleh negara-negara maju. Untuk itu, tidak adil jika pendanaan JETP lebih banyak untuk pinjaman komersial dibandingkan dengan porsi dana hibah.
“Negara-negara maju ini kan dia menjadi bagian dari tanggung jawab untuk mendanai negara berkembang dalam menjalankan transisi energi, jadi enggak adil kalau kemudian bentuknya adalah lebih banyak hutang,” ujarnya saat ditemui Katadata.co.id di sela acara diskusi peluncuran CIPP JETP, di Jakarta, Rabu (22/11).
Suriadi mengatakan, dalam Dokumen Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) JETP juga tidak melibatkan pendanaan untuk komunitas-komunitas yang mendirikan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT). Pendanaan hanya melibatkan para pemain dengan pembangkit listrik skala besar.
“Maka ini sangat tidak adil, jadi ‘Just’ yang artinya adil itu bohong. Kita lihat JETP ini membajak unsur adilnya, dan di dalamnya cuma hanya business as usual,” kata dia.
Oleh sebab itu, dia mengatakan, pihaknya bersama organisasi lainnya meminta kepada pemerintah untuk bisa mengakses pendanaan JETP itu kepada para komunitas untuk memenuhi pendanaannya dalam memperluas pembangunan pembangkit listrik EBT.
“Harapannya setidak-tidaknya itu 20% dananya dalam bentuk hibah bisa diakses oleh konunitas. Maka ini bisa menjawab elektrifikasi di tingkat komunitas,” ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, mengakui jika dana hibah JETP sangat kecil. Dadan mengatakan pendanaan JETP nantinya memang lebih banyak akan diberikan dalam bentuk pinjaman komersial. Ini termasuk pendanaan swasta yang diinisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$10 miliar.
Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. “Kemudian ada yang pinjaman, tapi commercial loan yang bunganya lebih menarik," kata dia di Jakarta, Selasa (21/8).
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).
Program pendanaan ini untuk membantu negara-negara berkembang meninggalkan energi batu bara sekaligus mendorong transisi ke penggunaan teknologi yang lebih rendah karbon.
Indonesia adalah salah satu negara yang berpotensi menerima pendanaan tersebut. Indonesia diperkirakan membutuhkan investasi transisi energi mencapai US$25-30 miliar atau sekitar Rp 393-471 triliun selama delapan tahun ke depan.
Sebelumnya Afrika Selatan telah diumumkan sebagai penerima pertama program ini. Negara tersebut menerima pendanaan awal sebesar US$ 8,5 miliar melalui berbagai mekanisme, termasuk hibah, pinjaman lunak, investasi, dan instrumen berbagi risiko.