Perubahan Iklim Memicu Krisis Malaria di Kenya

Pixabay
Peningkatan suhu global dan dampak perubahan iklim menyebabkan krisis malaria di Kenya.
Penulis: Hari Widowati
2/1/2024, 16.15 WIB

Seiring dengan meningkatnya suhu global, dampak perubahan iklim terhadap penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti malaria, menjadi semakin nyata. Di tanah gersang Isiolo, Kenya, kisah Wilson Mutai, seorang petani berusia 76 tahun, dan Kelvin Onkoba, seorang perawat magang berusia 25 tahun, menyoroti konsekuensi merusak dari malaria dan tantangan yang dihadapi oleh mereka yang mencari pengobatan.

Mutai menceritakan tentang diagnosisnya baru-baru ini dengan malaria, penyakit yang ia gambarkan sebagai penyakit yang merusak dan mematikan. Mutai yang dirawat di rumah sakit di Isiolo menghadapi kenyataan suram - fasilitas medis tidak memiliki obat malaria. Mutai akhirnya mencari layanan dokter pribadi yang dapat merawatnya di rumah.

"Saya dibawa ke rumah sakit, dan sesampainya di sana, tes darah dilakukan. Saya dinyatakan mengidap malaria tetapi rumah sakit tidak memiliki obat apa pun. Saya harus mencari dokter yang bisa mengobati saya di rumah," kata Mutai seperti dikutip Africanews, pada Selasa (2/1).

Perjuangan untuk mendapatkan pengobatan ini tidak hanya dialami oleh Mutai. Kelvin Onkoba, seorang perawat magang, juga mengalami dampak malaria terhadap kehidupan dan pekerjaannya. Setelah didiagnosis menderita penyakit ini, Onkoba terpaksa tidak masuk kerja selama empat hari. Hal ini berdampak pada komunitas yang dilayaninya.

"Obat-obatan tidak tersedia di fasilitas kesehatan, jadi saya harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mendapatkan pengobatan," ujar Onkoba, menyoroti beban keuangan yang dapat menyertai pencarian pengobatan.

Dampak Perubahan Iklim dan Pola Penularan Penyakit

Menanggapi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat terhadap pola penularan penyakit, International Livestock Research Institute (ILRI) dan Kenya Medical Research Institute (KEMRI) telah berkolaborasi dengan Unit Penyakit Zoonosis untuk mempelajari dampaknya terhadap nyamuk dan penularan penyakit.

James Akoko, seorang ilmuwan peneliti di ILRI, menjelaskan tujuan pendirian stasiun cuaca di wilayah tersebut. "Alasan kami mendirikan stasiun cuaca di wilayah ini adalah untuk dapat menangkap kondisi lingkungan yang berbeda seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan arah angin agar dapat benar-benar menghubungkan bagaimana komponen iklim yang berbeda ini dapat memengaruhi populasi vektor dan tren penyakit yang kita lihat di sekitar sini," kata Akoko.

Penelitian ini melibatkan perangkap nyamuk di wilayah tersebut untuk memantau populasi dan patogen yang mereka bawa. Joel Lutomiah, ahli entomologi di KEMRI, menjelaskan secara rinci prosesnya. "Ketika nyamuk-nyamuk tersebut ditangkap dari lapangan, mereka diangkut dengan rantai dingin, yaitu nitrogen cair, ke laboratorium KEMRI. Di sinilah nyamuk-nyamuk tersebut menjalani proses identifikasi sehingga kami dapat mengetahui spesies apa saja yang ada di daerah tersebut," tutur Lutomiah.

Hussein Abkallo, ahli biologi molekuler di ILRI, menjelaskan analisis lebih lanjut yang dilakukan terhadap nyamuk: "Kami juga mengekstrak RNA, yang merupakan asam nukleat lain dari virus. Dengan menggunakan reaksi berantai polimerase, kami kemudian menentukan jenis virus yang dibawa oleh nyamuk tersebut."

Genangan Air Tempat Berkembang Biak Nyamuk

Tanduk Afrika, termasuk Kenya bagian utara, baru-baru ini mengalami banjir yang merusak. Bencana alam ini menyebabkan genangan air yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Willis Akhwale, penasihat senior Dewan Malaria Kenya, mengaitkan curah hujan yang tinggi dengan peningkatan penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti malaria.

"Ada lebih banyak tempat berkembang biak, ada lebih banyak tempat berkembang biak, dan oleh karena itu, ada kemungkinan besar penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti malaria, demam berdarah, dan chikungunya," ujar Akhwale.

Laporan malaria tahun 2023 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti tren yang memprihatinkan, dengan perkiraan 249 juta kasus malaria di seluruh dunia pada tahun 2022. Kasus malaria ini sekitar 16 juta lebih banyak dari tingkat pra-pandemi pada tahun 2019.

Untuk menghadapi krisis malaria, dua vaksin baru, yakni RTS.S dan R21 Matrix M, akan diluncurkan di beberapa negara Afrika pada tahun 2024. Hal ini menawarkan harapan baru bagi Afrika dalam memerangi malaria.