Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi menilai proyek penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage/CCS) jadi peluang bisnis baru di Indonesia. Terlebih potensi penyimpanan karbon milik Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 400 hingga 600 gigaton.
Jodi mengatakan, proyek-proyek penyimpanan karbon yang cukup besar tersebut memiliki potensi untuk menarik investasi industri rendah karbon ke tanah air. Industri rendah karbon tersebut di antaranya blue ammonia, blue hydrogen, dan low carbon LNG.
"Hal ini menjadi terobosan bagi perekonomian Indonesia dengan membuka peluang industri baru dan menciptakan pasar global untuk produk-produk rendah karbon," ujar Jodi dikutip dari siaran Youtube Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada Rabu (3/1).
Dengan banyaknya investasi tersebut, Jodi mengatakan, proyek CCS berpotensi membuka lapangan kerja hingga 170.000 orang per tahun.
Sebagai informasi, Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas).
Jodi mengatakan, Indonesia mempunyai potensi untuk membangun industri hijau melalui teknologi. Potensi ini memungkinkan penyimpanan emisi CO2 nasional selama 322 hingga 482 tahun, dengan perkiraan puncak emisi 1.2 gigaton CO2-ekuivalen pada tahun 2030.
Jodi mengatakan, Indonesia merupakan pelopor di ASEAN dalam penerapan regulasi CCS, dan menduduki peringkat pertama di Asia menurut Global CCS Institute. Menurutnya, Indonesia telah membangung pondasi hukum yang kuat untuk industri hijau ini.
Regulasi tersebut di antaranya Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang CCS di industri hulu migas, Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon, dan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui IDXCarbon.
"Kita juga menuju penyelesaian Peraturan Presiden yang akan lebih memperkuat regulasi CCS,” ujarnya.
Ia mengatakan, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS dalam upaya mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060,
“Kita saat ini sedang bersaing dengan negara tetangga Sepeeti Malaysia dan Australia. Tapi dalam sisi geografis kita diuntungkan dan juga kita lebih advance dalam hal peraturan,” tutur Jodi.
Jodi mengatakan, CCS Hub ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik, tetapi juga menggali kerja sama internasional. Indonesia juga bisa bekerja sama dengan negara lain untuk penyimpanan karbon tersebut.
“Kerjasama ini memiliki potensial tinggi mengingat lokasi kita yang strategis secara geografis dan juga tentunya dengan kenaikan pendapatan negara sebagai imbalannya,” lanjutnya.
Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia telah menandatangani dua perjanjian terkait potensi Carbon Capture Storage (CCS). Dua perjanjian terkait CCS yang ditandatangani meliputi:
1. Amendemen Pokok-Pokok Perjanjian (HOA) yang memungkinkan kemajuan lebih lanjut CCS Hub oleh PT Pertamina (Persero) dengan ExxonMobil.
2. Nota Kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil yang dilakukan pada November 2023.
Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil tentang Advance Petrochemical Complex in Indonesia ditandatangani oleh Jodi dan Vice President ExxonMobil Chemical International Major Growth Ventures Ltd., Zoe Barinaga. MoU ini berisi kesepakatan untuk menjajaki evaluasi dan pengembangan kompleks petrokimia mutakhir di Indonesia.