Penambangan dan peleburan nikel di Indonesia berpotensi mengancam hak asasi manusia masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat, mencemari lingkungan, dan memicu krisis iklim. Temuan ini diungkapkan oleh Climate Right Internasional (CRI) dalam laporannya berjudul Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia Pada Manusia dan Iklim” yang dirilis, Rabu (17/1).

Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia yang memasok 48% permintaan global pada 2022. Kawasan industri nikel besar-besaran telah dibangun di seluruh negeri untuk memproses bijih nikel.

“Transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik adalah bagian penting menuju transisi global dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, namun tumbuhnya tidak boleh mengulang praktik-praktik yang merusak lingkungan,” kata Peneliti dari Climate Rights Internasional, Krista Shennum, dalam keterangan pers,  Rabu (17/1).

Krista mengatakan, perusahaan kendaraan listrik global harus memperhatikan bahan baku yang mereka gunakan agar tidak melanggar HAM dan kerusakan lingkungan. Hal itu termasuk industri otomotif global yang mengambil pasokan  nikel dari Indonesia, termasuk Tesla, Ford, dan Volkswagen.

Dia mengatakan, pemerintah juga harus memastikan agar aparat keamanan baik dari negara maupun perusahaan menghentikan semua praktik intimidasi maupun ancaman kepada masyarakat yang menentang kegiatan penambangan nikel.

Halaman:
Reporter: Rena Laila Wuri