Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menyebutkan istilah greenflation atau inflasi hijau saat debat calon wakil presiden di Jakarta Covention Centre, Minggu (21/1). Dia menanyakan masalah greenflation tersebut pada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD, pada sesi keempat debat cawapres.
"Bagaimana cara mengatasi greenflation?" tanya Gibran singkat pada Mahfud.
Pertanyaan Gibran tersebut langsung disambut seloroh penonton. Wali Kota Solo tersebut bertanya dengan singkat tanpa menjelaskan arti dari istilah greenflation tersebut.
"Bapak Gibran, kami sampaikan kembali, terminologi atau singkatan mohon untuk dijelaskan," ujar moderator.
Setelah jeda sejenak, Gibran pun memutuskan untuk menjelaskan pertanyaannya.
“Ini tadi saya tidak jelaskan karena beliau kan profesor. Greenflation adalah inflasi hijau, sesimpel itu” ujarnya.
Lalu Apakah itu Greenflation?
Secara singkat, greenflation adalah jika harga komoditas naik karena transisi menuju ekonomi hijau.
Dikutip dari situs resmi Bank Sentral Eropa (ECB), saat ini banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksinya dalam upaya mengurangi emisi karbon. Namun sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi.
Misalnya saja kendaraan listrik yang menggunakan mineral enam kali lebih banyak dibandingkan kendaraan konvensional. Begitu juga pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan jumlah tembaga tujuh kali lipat dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.
Namun, seiring dengan meningkatnya permintaan, pasokan menjadi terbatas dalam jangka pendek dan menengah. Biasanya diperlukan waktu lima hingga sepuluh tahun untuk mengembangkan tambang baru.
Ketidakseimbangan antara meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan menjadi alasan mengapa harga banyak komoditas penting meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Harga litium misalnya, telah meningkat lebih dari 1000% sejak Januari 2020.
Member of the ECB's Executive board Isabel Schnabel mengatakan, perkembangan-perkembangan ini menggambarkan sebuah paradoks penting dalam upaya melawan perubahan iklim.
"Bahwa semakin cepat dan mendesak peralihan menuju perekonomian yang lebih ramah lingkungan, maka akan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan dalam jangka pendek," ujarnya.
Namun demikian, Isabel mengatakan, sejauh ini dampak inflasi hijau terhadap harga konsumen akhir jauh lebih kecil dibandingkan inflasi fosil.
"Oleh karena itu, sangatlah menyesatkan untuk mengklaim bahwa penghijauan perekonomian kita adalah penyebab kenaikan harga energi yang menyakitkan," ujarnya.
Namun seiring semakin banyaknya industri yang beralih ke teknologi rendah emisi, inflasi hijau diperkirakan akan memberikan tekanan pada harga berbagai produk selama masa transisi.
"Kebijakan moneter tidak bisa mengabaikan transisi hijau. Bagaimana seharusnya kebijakan moneter merespons tekanan harga ini telah menjadi bahan perdebatan sengit," kata Isabel.