Indonesia berpotensi menjadi pusat perdagangan karbon dunia melalui carbon capture, and storage (CCS) dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan beberapa negara mulai melirik kerjasama CCS dengan Indonesia, seperti Singapura dan Jepang
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM, Noor Arifin, mengatakan Indonesia sudah melakukan perjanjian kerja sama CCS dengan Singapura. Sementara Jepang saat sudah menyatakan ketertarikan untuk bekerja sama, namun beum melakukan perjanjian bilateral.
“Jepang tertarik tapi belom bikin mou, baru secara korporasi," kata Noor Arifin, saat di temui di Gedung Lemigas, Jakarta, Selasa (20/2).
Ia mengatakan, Indonesia sebenarnya belum melakukan promosi industri CCS ke tingkat dunia. Akan tetapi, industri CCS Indonesia sudah mulai dilirik negara lain karena memiliki payung hukum yaitu Peraturan Presiden no. 14 tahun 2024 yang mengatur tentang penyimpanan karbon lintas negara atau cross border termaju di dunia.
“Sepertinya begitu tapi tanpa sadar [banyak yang melirik]. Karena mungkin regulasinya sepertinya termaju di dunia kita itu, Indonesia,” katanya.
Noor Arifin mengatakan, negara lain melihat peluang ini dari sisi keekonomian transportasinya. Negara-negara penghasil emisi karbon akan mencari negara terdekat untuk melakukan injeksi. Semakin dekat dengan Indonesiam maka biayanya makin murah.
Berdasarkan Perpres no. 14 tahun 2024, Indonesia mengalokasikan 30% dari total kapasitas yang dimilikinya agar dapat digunakan untuk karbon yang berasal dari luar negeri. Sementara untuk penyimpanan domestik dialokasikan sebesar 70%.
DirekturJenderal Minyak dan Gas (Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, mengatakan meski begitu Indonesia harus profesional dan jangan salah langkah dalam penyimpanan karbon lintas negara ini.
“Sebagai negara yang diberkahi penyimpanan karbon tidak lantas ini punya saya, saya tidak mau menampung limbah dari negara lain,” katanya.
Tutuka mengatakan ada persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan luar negeri yang akan menyimpan emisi karbonnya di Indonesia. Penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri, hanya dapat dilakukan oleh penghasil karbon yang melakukan investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia.
Kemudian pengangkutan penyelenggaraan CCS lintas negara (cross border) dilakukan perjanjian kerja sama bilateral antarnegara. Perjanjian kerja sama itu juga dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian internasional.
“Misalnya dengan Singapura, Jepang harus ada MoU antar negara. Baru turunanya nanti B2B, yang penting MoU antar negara harus ada dulu,” ucapnya.
Sebelumnya, Indonesia dan Singapura telah resmi menjalin kerja sama di bidang proyek CCS dan CCUS.
Kerja sama itu ditandai dengan penandatangan dokumen komitmen awal (letter of intent/LoI) oleh Wakil Sekretaris (Industri) Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, Keith Tan, dan Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Jodi Mahardi, Kamis (15/2).
Menurut Gas Global Report 2022 dari International Gas Union (IGU), ada berbagai tempat di seluruh dunia yang bisa menjadi tempat penyimpanan emisi CO2, dengan total potensi kapasitas sekitar 22.900 gigaton.
Jika dirinci berdasarkan wilayah, tempat penyimpanan emisi CO2 dengan teknologi CCS paling besar berada di Amerika Serikat (AS), dengan potensi kapasitas 12.177 gigaton.
Tempat penyimpanan terbesar berikutnya tersebar di Eropa dan Asia, dengan potensi kapasitas seperti terlihat pada grafik.