Pertamina New and Renewable Energy (NRE) pada bulan ini akan menandatangani sebuah perjanjian mengenai teknologi tangkap karbon (CCS) bersama perusahaan baja asal Asia yang beroperasi di Indonesia.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mendorong agar aturan turunan mengenai implementasi teknologi CCS dapat rampung dalam dua atau tiga bulan ke depan, atau pada Agustus 2024.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memastikan pemerintahan Prabowo-Gibran akan melanjutkan kebijakan implementasi CCS di Indonesia.
Pertamina menandatangani dua kerja sama pengembangan CCS di Indonesia, yakni pertama dengan ExxonMobil, sedangkan yang kedua dengan ExxonMobil dan Korea National Oil Company (KNOC).
Exxon tengah mengembangkan teknologi penangkapan karbon langsung dari udara. Namun teknologi ini masih terlalu mahal dengan biaya penangkapan emisi CO2 mencapai US$ 600-1.000 per ton.
Perusahaan penangkapan dan penyimpanan karbon, CarbonCapture yang berbasis di Los Angeles, mengatakan telah mengumpulkan investasi US$ 80 juta, termasuk dari Saudi Aramco.
Singapura bekerja sama dengan Shell dan ExxonMobil untuk mengembangkan fasilitas penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) dengann potensi penyimpanan 2,5 juta ton CO2 per tahun.
Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menyinggung masalah CCS sebagai bagian dari strateginya mendorong pembangunan ekonomi rendah karbon. Indonesia memiliki 15 proyek CCS, berikut daftarnya:
Pemerintah Arab Saudi melalui Saudi Power Procurement Co. (SPPC) meluncurkan 4 proyek pembangkit listrik kapasitas 7.200 MW yang menggunakan teknologi penangkapan karbon atau carbon capture.