Ekonomi hijau berpotensi menciptakan produk domestik bruto tambahan sebesar sebesar Rp 2.943 triliun dalam 10 tahun, setara dengan 14,3% dari PDB di 20244. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan mempertahankan ekonomi ekstraktif yang hanya memiliki potensi penambahan PDB Rp 1.843 triliun.

Hal itu tercantum dalam kajian Celios dan Greenpeace berjudul "Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia".

"Pembangunan ekonomi dengan paradigma mendorong transisi energi yang lebih bersih atau menjauhkan dari batubara maupun energi fossil mampu menciptakan output ekonomi yang besar," kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, dikutip Selasa (2/4).

Selain itu, dia mengatakan, pengalihan pembiayaan perbankan dari sektor pertambangan dan penggalian (ekstraktif) akan mendorong sektor-sektor yang lebih berkelanjutan mendapatkan aliran pendanaan untuk investasi baru.

Salah satu bentuk kebijakan untuk mempercepat pengalihan pembiayaan perbankan adalah dengan melakukan revisi taksonomi hijau. Itu artinya, sektor pertambangan, pembangunan PLTU batubara dikeluarkan dari kategori transisi dan hijau.

"Disaat yang bersamaan kebijakan moneter perlu dilakukan seperti mendorong rasio kredit minimum bagi pembiayaan hijau, memperbesar insentif moneter termasuk mendorong reformasi LTV (Loan to Value) untuk pembiayaan yang selaras dengan pengurangan emisi karbon," ujar Bhima.

Dia mengatakan, kombinasi tersebut mampu melipatgandakan ekonomi Indonesia. Terdapat penambahan output ekonomi secara agregat sebesar Rp4.376 triliun selama 10 tahun.

Output tersebut berasal dari investasi ekonomi hijau yang sebesar Rp 1.300 triliun. Multiplier effect atau efek berganda yang ditimbulkan dari pergeseran ke ekonomi non-ekstraktif lebih dari 3 kali lipat.

Pertumbuhan Ekonomi Lebih Berkualitas

Bhima mengatakan, penambahan output yang lebih dari 3 kali lipat, menciptakan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp2.943 triliun dalam 10 tahun. Angka tersebut setara dengan 14,3% dari PDB di 20244.

Transisi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan mampu berkontribusi lebih besar terhadap total PDB Indonesia, dibandingkan sektor pertambangan dan penggalian yang berkontribusi 12,2%.

Output multiplier tersebut didapatkan dari kegiatan ekonomi yang berasal dari sektor program yang berlangsung dan multiplier effect yang ditimbulkan.

Sementara itu, Bhima mengatakan, mempertahankan ekonomi ekstraktif hanya memiliki dampak berganda sebesar Rp 1.843 triliun dalam 10 tahun atau hanya 57% dari dampak berganda ekonomi hijau.

"Jika menginginkan pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas sekaligus menggapai pertumbuhan tinggi menuju negara maju, maka yang dibutuhkan adalah konsistensi melakukan transisi ke ekonomi hijau," kata dia.

Berdasarkan hasil simulasi lapangan usaha, sektor pertambangan dan penggalian dalam skenario business as usual (BAU) menciptakan nilai tambah Rp 962,6 triliun. Sementara model transisi ekonomi hijau menurunkan nilai tambah pertambangan menjadi Rp381,6 triliun.

Masih terdapat dampak PDB bagi sektor pertambangan dalam skenario ekonomi hijau berdasarkan pada dua asumsi. Pertama, fase transisi menyebabkan sektor pertambangan mengalami penurunan nilai tambah dan dalam jangka panjang akan semakin mengecil.

Kedua, masih terdapat penggunaan mineral kritis untuk mensuplai kebutuhan transisi energi, dengan catatan tata kelola mineral kritis seperti nikel dan bauksit dilakukan dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat.