Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sudah melakukan restorasi gambut di lahan sekitar 1,8 juta hektare pada 2016-2023.
"Dari target sekitar 2 juta hektare, BRGM sudah melakukan restorasi gambut seluas 1,8 juta hektare," ujar Ayu Dewi Utari dalam diskusi daring yang diikuti dari Jakarta, Kamis (14/6), seperti dikutip dari Antara.
Sekretaris Utama BRGM, Ayu Dewi Utari, mengatakan BRGM dimandatkan untuk melaksanakan restorasi gambut seluas 1,2 juta hektare pada 2021-2024. Restorasi tersebut dilaksanakan di tujuh provinsi prioritas yaitu di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Untuk capaian restorasi gambut yang dilakukan pada 2021-2023, BRGM melakukan pemulihan lahan gambut dengan total 829.550 hektare. Secara rinci, capaian tersebut yaitu 288.055 hektare pada 2021, 269.774 hektare pada 2022, dan 271.721 hektare pada 2023.
Ayu mengatakan, restorasi lahan gambut menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan guna mencegah terjadinya krisis alam di Indonesia. Pasalnya gambut mempunyai kapasitas penyimpanan karbon 10 sampai 13 kali dibandingkan ekosistem lain.
Gambut juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya melalui pemanfaatan lahan untuk berbagai budidaya tanaman dan perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Dia mengatakan, BRGM melakukan pembasahan ulang (rewetting) dan penanaman kembali (revegetation) sebagai strategi dalam merestorasi lahan gambut. Selain itu, BRGM juga melakukan peningkatan kesejahteraan atau revitalisasi penghidupan masyarakat yang mendukung restorasi.
Peneliti Ahli Madya, Direktorat Kebijakan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yanto Rochmayanto, mengatakan pendekatan yang diambil dalam merestorasi gambut tidak bisa hanya mengandalkan sisi teknis.
Menurutnya, dalam rencana restorasi perlu terlebih dahulu melakukan konsolidasi terutama terkait kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
"Pertama kita perlu kenali sosial budaya di area yang akan direstorasi, kemudian pilih aktivitas maupun aksi mitigasi yang terkait dengan mereka. Jadi kegiatan restorasi yang sesuai dengan alam sekaligus sesuai dengan sosial ekonomi masyarakat,” ujar Yanto.
Sementara itu, Manajer Senior Karbon Kehutanan dan Perubahan Iklim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Nisa Novita mengatakan, kegiatan restorasi gambut memerlukan upaya kolaboratif berbagai pihak.
"Selain itu, perlu juga dikuantifikasi seberapa besar dampak penurunan emisi dari kegiatan rewetting dan revegetation pada lahan gambut terdegradasi," ujar Nisa.
Nisa menyebut, ada hal lain yang perlu dilakukan di Indonesia guna menjaga kondisi lahan gambut dari bahaya kebakaran hutan. Salah satunya dengan membangun sekat pada lahan kelapa sawit yang berbatasan dengan gambut.
Dia mengatakan, pembangunan sekat kanal pada lahan kelapa sawit dapat mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut dan mampu menekan emisi yang dihasilkan.
Penelitian YKAN menemukan pembangunan sekat kanal di lokasi yang tepat dan terawat di lahan perkebunan sawit dapat menurunkan emisi mencapai 30% dibandingkan dengan biasanya.
"Hal ini menjadikan restorasi gambut melalui pengelolaan tata air dapat dijadikan salah satu strategi efektif Solusi Iklim Alami yang berpotensi tinggi dalam upaya penurunan emisi pada skala nasional,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, luasan lahan gambut tropis di Indonesia yaitu mencapai 13,4 juta hektare. Dengan luasan tersebut diperkirakan mampu menyimpan hingga 57 giga ton karbon atau 55 persen dari total karbon gambut tropis dunia.
Namun, dari total luasan lahan gambut tropis Indonesia, hampir setengahnya mengalami degradasi fungsi yang diakibatkan oleh pembangunan kanal, penebangan hutan, konversi menjadi lahan pertanian dan kebakaran