Pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendorong penguatan kerjasama antarnegara di kawasan Selatan-selatan untuk menghadapi perubahan iklim yang kian memprihatinkan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan kolaborasi kerja sama negara di kawasan Selatan-Selatan secara khusus dapat dilakukan dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk membangun ketahanan iklim bersama.
"Perubahan iklim harus mendapat perhatian serius karena mengancam keberlangsungan kehidupan umat manusia. Kerja sama negara-negara kawasan Selatan-Selatan penting dilakukan untuk membangun ketahanan bersama," kata Dwikorita dalam keterangannya saat menjadi pembicara High Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships yang diterima di Jakarta, Rabu (4/9).
Forum internasional yang diselenggarakan oleh Bappenas di Bali itu mengusung tema "Rising Sea Level: Strategic Responses for Sustainable Development".
Pada forum itu Dwikorita menjelaskan perubahan iklim menjadi pekerjaan rumah masyarakat global, tanpa batas teritorial (borderless) antarnegara sehingga kolaborasi menjadi sebuah keharusan.
Kolaborasi dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan melalui penelitian dan pengembangan pendidikan serta peningkatan layanan iklim yang berkelanjutan. Pasalnya, kesenjangan dalam teknologi dan literasi masyarakat antar negara, khususnya di kawasan selatan-selatan masih sangat lebar.
Ia menyebut tidak sedikit masyarakat dunia yang tidak peduli dengan dampak perubahan iklim akibat minimnya literasi mengenai perubahan iklim itu sendiri, termasuk di Indonesia. Alhasil, perubahan iklim yang kerap didengungkan hanya dianggap angin lalu atau sebatas kampanye tanpa aksi nyata demikian keberadaan sistem peringatan dini yang dibangun pun menjadi kurang optimal.
"Kerja sama dan kolaborasi ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan semua negara terhadap perubahan iklim sebagai respon dan penyikapan terhadap situasi bumi kekinian," ungkapnya.
Terlebih lanjutnya, saat ini kenaikan suhu global sudah 1,45 derajat di atas rata-rata periode pra-industri tahun 1850-1900. Kondisi ini berdampak pada akselerasi kenaikan muka laut yang terus menerus naik dari dekade ke dekade.
Rata-rata kenaikan muka air laut global berada di level 2,1 mm per tahun antara 1993 dan 2002, lalu menjadi 4,4 mm per tahun antara 2013 dan 2021 atau meningkat dua kali lipat di antara periode tersebut.
Realitas ini sebagian besar disebabkan oleh hilangnya es di kutub yang dipercepat oleh melelehnya gletser dan lapisan es lautan.
"Jadi tidak berlebihan jika saya menyebut situasi ini sebagai sesuatu yang sangat serius dan juga harus direspon secara serius," tegasnya.
Indonesia melalui BMKG, kata Dwikorita, telah melakukan kerja sama dengan negara-negara kepulauan di Kawasan Pasifik sejak tahun 2017 di antaranya dengan Papua Nugini, Tonga, dan Kepulauan Solomon untuk menyikapi peningkatan muka air laut tersebut. Mengingat, realitas bumi kekinian mengancam negara-negara kecil kepulauan.
Pelatihan tersebut berupa prakiraan cuaca numerik, tinggi gelombang, pengawasan kekeringan, dan program lainnya terkait keamanan wilayah pesisir laut, penilaian risiko, dan sistem peringatan dini.
Mantan rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tersebut juga menekankan pentingnya pengawasan berkelanjutan dan terstandarisasi dalam sistem pengukuran peningkatan permukaan air laut negara di kawasan Selatan-Selatan. Hal itu dilakukan melalui pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir tanpa mengabaikan kearifan lokal sehingga ancaman bencana dapat diminimalisir dan diantisipasi semaksimal mungkin.