Upaya pemerintah untuk mendorong hilirisasi nikel yang lebih masif berpotensi menaikkan emisi karbon Indonesia, lantaran masih adanya ketergantungan pada PLTU batu bara pada operasi produksi nikel. Rencana kenaikan produksi dari empat perusahaan nikel besar di Indonesia diprediksi meningkatkan emisi karbon 38,5 juta ton CO2 pada 2028.
Empat perusahaan nikel tersebut adalah PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Merdeka Battery Materials (MBMA) Tbk, PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel) Tbk, dan PT Vale Indonesia Tbk. Hal ini diungkapkan dalam laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) “Indonesia's Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production”.
Laporan ini mengungkapkan, Antam, MBMA, Harita, dan Vale, yang mewakili 26% produksi nikel Indonesia, menghasilkan logam nikel 350 ribu ton pada tahun lalu, dengan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 15 juta ton. Pada tahun yang sama, keempat perusahaan ini berhasil meraup laba US$ 996 juta dan pendapatan US$ 6,8 miliar.
Keempat perusahaan ini berencana menaikkan kapasitas total produksinya menjadi 1,05 juta ton logam nikel pada 2028. “Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 3-5 tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batu bara,” kata Ghee Peh, penulis laporan dan Analis Keuangan Energi IEEFA, dikutip Jumat (25/10).
Saat ini, Antam tercatat hasilkan emisi terbesar dari setiap ton nikel yang diproduksi, yakni 69,9 ton CO2 per ton nikel (tCO2/tNi). Sementara Harita menempati posisi kedua dengan angka emisi 68,4 tCO2/tNi, disusul MBMA 56,9 tCO2/tNi, dan terakhir Vale 28,7 tCO2/tNi.
Tingginya emisi ketiga perusahaan lantaran masih mengandalkan PLTU untuk proses produksinya, sementara Vale telah memiliki PLTA dan pembangkit listrik berbasis biodiesel untuk sumber listriknya.
Laporan IEEFA memproyeksikan kenaikan emisi berdasarkan rencana peningkatan kapasitas produksi nikel empat perusahaan. Pertama, jika intensitas emisi GRK keempat perusahaan tidak berubah dari posisi 2023. Kedua, jika perusahaan mengupayakan intensitas emisinya sama dengan Vale.
Ghee mengatakan mengacu skenario pertama, total emisi keempat perusahaan itu akan mencapai 38,5 juta ton, setara 4,5% dari total emisi GRK Indonesia tahun lalu sebesar 861,5 juta ton. Sementara pada skenario kedua, jika ketiga perusahaan mampu mencapai intensitas emisi 28,7 tCO2/tNi seperti Vale, total emisi akan berkurang 43% menjadi 22,3 juta ton CO2 pada 2028.
Ghee Peh mengingatkan tambahan kapasitas 530 ribu ton pada 2028 akan berdampak signifikan pada lingkungan jika perusahaan nikel masih terus bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
IEEFA memperkirakan dari total kapasitas baru 530 ribu ton, 51% akan berasal dari produksi feronikel beremisi tinggi (sekitar 60 tCO2/tNi), utamanya dilistriki oleh PLTU batu bara. Sisanya, 49% akan berasal dari produksi rendah emisi (sekitar 13 tCO2/tNi) melalui presipitat hidroksida campuran (MHP) dengan proses high-pressure acid leach (HPAL) berbasis zat kimia.
Beralih ke Energi Terbarukan
Laporan IEEFA menyatakan, intensitas emisi Vale menjadi yang terendah karena tingginya porsi energi terbarukan yang digunakan, yakni mencapai 30,1%. Sementara porsi energi terbarukan Harita hanya 5,3%, MBMA 4,9%, dan Antam 1,2%. Walaupun, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas smelter dan proses produksinya, sehingga masih menghasilkan emisi.
Selain Vale, hingga saat ini baru Harita yang berencana menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan. Harita berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 MW pada 2025, yang akan membuat intensitas emisinya setara Vale.
MBMA juga berencana menggunakan PLTS namun tidak merinci kapasitasnya. Sementara Antam baru berencana menghentikan PLTU yang dimilikinya, namun hanya untuk beralih menggunakan listrik dari PT PLN (Persero) dengan sumber pembangkit listrik berbahan bakar gas dan PLTU.
Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita menunjukkan bahwa perusahaan nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU dan memangkas intensitas emisi GRK. Namun, untuk menurunkan intensitas emisi lebih signifikan, perusahaan nikel Indonesia perlu beralih ke energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya.
“Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan,” kata Ghee Peh.