Emisi Metana Melonjak dan Ancam Target Iklim, Asia Tenggara Produsen Tertinggi
Konsentrasi metana di atmosfer bumi melonjak dalam beberapa dekade terakhir. Lonjakan tersebut berpotensi mengancam target iklim dunia yang bertujuan untuk menahan naiknya suhu bumi lebih dari 1,5 derjat celcius (C).
Berdasarkan beberapa penelitian, lahan basah tropis yang terus terpapar panas berpotensi melepaskan lebih banyak metana dari sebelumnya. Lahan basah menyimpan karbon yang sangat besar dalam bentuk materi tanaman mati yang perlahan-lahan dipecah oleh mikroba tanah. Kenaikan suhu akan mempercepat interaksi biologis yang menghasilkan metana.
Para ilmuwan memproyeksikan emisi metana lahan basah akan meningkat seiring dengan pemanasan iklim. Namun berdasarkan sampel, konsentrasi metana di atmosfer telah menunjukkan angka tertinggi udara pada 2020 hingga 2022.
Berdasarkan empat studi yang diterbitkan dalam beberapa bulan terakhir, lahan basah tropis adalah penyebab paling mungkin untuk lonjakan tersebut. Daerah tropis berkontribusi lebih dari 7 juta ton terhadap lonjakan metana selama beberapa tahun terakhir.
"Konsentrasi metana tidak hanya meningkat, tetapi meningkat lebih cepat dalam lima tahun terakhir daripada kapan pun dalam catatan instrumen," ujar Ilmuan lingkungan Universitas Stanford, Rob Jackson, dikutip dari Reuters, Senin (18/11).
Rob mengatakan instrumen satelit mengungkapkan daerah tropis sebagai sumber peningkatan besar. Selain itu, Ilmuwan juga sudah meneliti sumber dari metana yang terkandung di atmosfer. Berdasarkan data yang diterbitkan pada Maret 2023 di Nature Climate Change menunjukkan bahwa emisi lahan basah tahunan selama dua dekade terakhir sekitar 500.000 ton per tahun.
Beberapa negara di Asia Tenggara, Kongo, dan Brazil berkontribusi paling besar terhadap lonjakan di daerah tropis.
Selain itu, berdasarkan Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences yang diterbitkan pada September lalu menunjukan bahwa, pola iklim La Nina yang memberikan hujan lebat ke bagian-bagian daerah tropis berdampak atas lonjakan tersebut.
"Tetapi La Nina saja, yang terakhir berakhir pada tahun 2023, tidak dapat menjelaskan rekor emisi tertinggi," ujar Shindell.
Jika emisi metana lahan basah terus meningkat, para ilmuwan mengatakan pemerintah perlu mengambil tindakan yang lebih kuat untuk menahan pemanasan pada 1,5 C seperti yang disepakati dalam kesepakatan iklim Paris PBB.