Edisi Khusus | Masyarakat Adat

RUU Masyarakat Adat Masuk Prolegnas Prioritas 2025, Belum Disahkan 14 Tahun

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/Spt.
Seorang warga masyarakat adat Suku Talang Mamak melintas di jalan kawasan restorasi Alam Bukit Tigapuluh, Semerantihan, Tebo, Jambi, Selasa (13/2/2024).
19/11/2024, 14.38 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025 pada Selasa (19/11). Rancangan UU yang merupakan usulan Badan Legislatif tersebut sudah terkatung-katung sejak 14 tahun lalu.

Rancangan UU Masyarakat Hukum Adat telah diusulkan sejak 2003 dan dirumuskan naskah akademiknya pada 2010. Pada pemerintahan Jokowi, RUU Masyarakat Adat bahkan sudah tiga kali masuk Prolegnas DPR,  namun hingga kini belum juga disahkan.

Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meminta publik untuk berpartisipasi dalam mengawal usulan rancangan undang-undang yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat, termasuk RUU Masyarakat Adat.

"Kami mengharapkan partisipasi masyarakat untuk mengawal, memberikan masukan, saran untuk pembahasan RUU yang nanti akan dibahas," ujarnya Selasa (19/11).

Dia mengatakan, RUU yang sudah belasan tahun diwacanakan tersebut akan menjadi payung hukum masyarakat adat, terutama dalam melestarikan adat budaya, asal muasal adat yang menjadi kekayaan budaya nusantara kita saat ini.

"RUU Masyarakat Adat sangat prioritas untuk diselesaikan karena menyangkut kepentingan masyarakat adat yang butuh dilindungi," tuturnya.

Kenapa RUU Masyarakat Adat Mendesak?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, RUU Masyarakat Adat peru segera disahkan. Hal itu terutama karena masyarakat adat ataupun tanah adat kerap terlibat dalam konflik dalam isu pembangunan.

“Bagaimana masyarakat adat itu bisa diberikan hak lebih untuk mengelola lingkungan dan adakah insentif buat masyarakat adat yang mengelola hutan dan sumber mata air,” ujarnya kepada Katadata, Kamis (18/1).

Climate Right Internasional (CRI) dalam laporannya mengatakan program pemerintah seperti hilirisasi nikel juga kerap mengancam hak asasi manusia masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat. Padahal hilirisasi nikel tersebut digadang-gadang untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan. 

“Transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik adalah bagian penting menuju transisi global dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, namun tumbuhnya tidak boleh mengulang praktik-praktik yang merusak lingkungan,” kata Peneliti dari Climate Rights Internasional, Krista Shennum, dalam keterangan pers, Rabu (17/1).

Krista mengatakan, pemerintah seharusnya segera mengakui tanah milik masyarakat adat dan memastikan bahwa perusahaan pertambangan dan pemurnian nikel menghormati hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat.



Reporter: Ade Rosman, Antara