Menteri LH Minta Kepala Daerah Tuntaskan Masalah Sampah di TPA Terbuka

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.
Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, meminta kepala daerah menuntaskan masalah sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) yang dikelola secara pembuangan terbuka (open dumping).
Penulis: Djati Waluyo
16/12/2024, 16.09 WIB

Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, meminta kepala daerah menuntaskan masalah sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) yang dikelola secara pembuangan terbuka (open dumping). Timbulan sampah di TPA open dumping bisa menjadi bom waktu jika tidak segera diselesaikan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah dengan tegas memandatkan agar TPA pembuangan terbuka tidak lagi dioperasikan di Indonesia.

"Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, masih terdapat 306 provinsi atau kabupaten atau kota yang mengoperasikan TPA secara open dumping," ujar Hanif dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Sampah Tahun 2024 bersama para kepala daerah di Jakarta, seperti dikutip dari siaran pers, Senin (16/12).

Hanif meminta pemerintah daerah menata ulang TPA di daerahnya. Ia menyarankan TPA dikelola dengan metode lahan urug saniter atau sekurang-kurangnya lahan urug terkendali dan hanya menerima residu saja.

Ia mengingatkan TPA bukanlah tempat penimbunan sampah melainkan tempat pemrosesan akhir yang berarti hanya residu saja yang boleh masuk ke TPA.

Berdasarkan pasal 29 ayat1 huruf f di UU Nomor 18 Tahun 2008, penutupan TPA sistem open dumping wajib dilakukan lima tahun sejak dimandatkan pada 2008 atau berarti 2013. Namun, sampai hari ini Kementerian Lingkungan Hidup masih mendapati TPA open dumping di lapangan.

TPA Terbuka Harus Ditutup

"Berdasarkan hasil Rakornas ini, kita akan mengambil kesimpulan untuk menyelesaikan dan menutup open dumping. Kemudian, mengelola dengan sistem baru, dengan sistem sanitary landfill atau controlled landfill tapi sebaiknya kita lebih memilih sanitary landfill supaya kondisi lingkungan benar-benar kita jaga," ujar Hanif.

Ia mengingatkan masalah pengelolaan sampah bukan hanya isu lokal tetapi sudah menjadi isu global. "Yang perlu kita nyatakan ke seluruh penjuru tanah air kita adalah rencana aksi kita di dalam kolaborasi penuntasan masalah pengelolaan sampah di Indonesia harus selesai di 2025 – 2026," ujar Hanif.

Berdasarkan data pada Global Waste Management Outlook 2024, masih terdapat 38% sampah global yang tidak terkelola dengan baik yang berkontribusi pada Triple Planetary Crisis.

Hanif mengatakan, jumlah timbulan sampah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik, maka akan timbul permasalahan lingkungan yang diakibatkan dari sampah yang tidak terkelola.

Masalah tersebut berupa pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah, permasalahan kesehatan, dan bahkan mengakibatkan permasalahan global meliputi peningkatan gas rumah kaca (GRK) yang sangat signifikan. Bahaya lain dari timbulan sampah adalah gas metana yang mempunyai daya rusak atmosfer 28 kali lebih besar dari karbon dioksida.

Ia mengatakan, merujuk pada amanat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 terdapat tiga lapisan yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.

"Dalam pasal tersebut disebutkan pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan," ujarnya.

Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban menyiapkan anggaran untuk mengelola sampah dengan baik dan berwawasan lingkungan. Penyediaan anggaran pengelolaan sampah ini bisa dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 UU Nomor 18 Tahun 2008.

Reporter: Djati Waluyo