Pantau Gambut: Inkonsistensi Regulasi Picu Kerusakan Ekosistem Gambut

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.
Petugas Manggala Agni Daops Kota Jambi memasang selang saat memadamkan api kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, Rabu (30/7/2025). Upaya pemadaman yang telah memasuki hari kesebelas dan sudah menghanguskan 270 hektare lahan tersebut masih terus dilakukan sejumlah pihak melalui darat dan udara untuk mengantisipasi munculnya titik api susulan, sementara dampak asap kebakaran telah dirasakan hingga ke permukiman utamanya pada pagi dan sore hari.
21/8/2025, 10.45 WIB

Studi Pantau Gambut menyebut kanal sepanjang 281.253 kilometer membelah ekosistem gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang memicu kerusakan pada ekosistem dan merugikan masyarakat sekitar.

Studi itu mengungapkan kanal sepanjang 120 kali bolak-balik Tol Trans Jawa ini mayoritas ditemukan pada konsesi Hak Guna Usaha (HGU) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan luasan masing-masing 3.993.626 Ha dan 2.547.356 Ha.

Manajer Advokasi, Kampanye, dan Komunikasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana menilai ada inkonsistensi regulasi terkait perlindungan ekosistem gambut. Ini membuat masyarakat dan ekosistem di sekitarnya menjadi korban. Studi Pantau Gambut bertajuk "Dari Konsesi ke Konsekuensi" menyebut terjadi efek domino akibat rapuhnya kerangka regulasi yang menyebabkan korporasi perkebunan dapat mengeksploitasi ekosistem gambut tanpa adanya pengawasan dan penindakan yang tegas.

"Ada korelasi kuat antara aktivitas korporasi ekstraktif dengan peningkatan kerentanan banjir dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla)," ucapnya, dilansir dari pernyataan resminya.

Wahyu menjelaskan,  gambut tidak lagi berfungsi seperti sedia kala sebagai penyerap air. Fenomena irreversible drying ini yang menyebabkan genangan air menjadi limpasan yang tidak terkontrol dan justru menciptakan daya rusak kepada lingkungan sekitarnya.

Irreversible drying merupakan kondisi di mana lahan gambut yang telah dikeringkan secara berlebihan, berdampak pada hilangnya kelembaban dan kemampuannya untuk menahan air secara permanen, sehingga menyebabkan degradasi ekosistem yang tidak dapat dipulihkan.

Lebih lanjut Wahyu menilai kerusakan gambut ini berpangkal pada kerangka hukum perlindungan ekosistem gambut yang masih pincang dan meninggalkan celah besar. Yakni PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 71 Tahun 2014.

"(Aturan ini) tidak banyak mengubah realitas pengelolaan dan perlindungan ekosistem gambut dan justru semakin diperlemah oleh UU Cipta Kerja Pasal 110 A dan B," katanya.

Wahyu mengatakan, meski telah melangsungkan persidangan berulang kali, tidak membuat Pengadilan Negeri (PN) Sumatera Selatan bersedia melanjutkan gugatan dan justru memutuskan niet ontvankelijke (NO) yang berarti menunda atau bahkan menggagalkan proses keadilan bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut.

"Ketiga perusahaan yang ada di satu hamparan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Sugihan–Lumpur ini menjadi contoh dampak kerusakan ekosistem gambut akibat aktivitas perusahaan tidak sepenuhnya bisa mendapatkan perlindungan hukum. Tanpa adanya penegakan hukum preventif bukan represif setelah bencana terjadi, masyarakat akan terus menjadi korban," tandasnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah