Lima universitas di Indonesia memberi masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Mereka adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Diponegoro (Undip), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Salah satu yang menjadi masukan adalah insentif. Bagian Hukum Energi dari Pusat Studi Energi (PSE) UGM Irene Handika mengatakan insentif diperlukan agar harga listrik menjadi lebih murah, sehingga banyak masyarakat berminat mengkonsumsi sumber EBT.
Namun, seharusnya, insentif itu tidak dibatasi jangka waktunya. Dalam pasal 39 RUU EBT, pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. “Padahal insentif itu sudah diatur secara perinciannya di Peraturan Menteri Keuangan yakni lebih dari 10 tahun," kata Irene, di Jakarta, Senin (28/1).
Pemberian insentif ini penting karena Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer/IPP) menginginkan harga yang tinggi, akibat mahalnya membangun pembangkit. Di sisi lain, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)(Persero) justru menginginkan tarif Pembangkit EBT yang murah.
Jadi tarif itu menjadi permasalahan mendasar, apalagi harga listrik dari Pembangkit EBT sudah dipatok sebesar 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP) dari wilayah setempat. "Ini salah satu masalah mendasar yang berkaitan dengan insenti," kata Tri Widodo, bagian Ekonomi Energi PSE UGM.
Ketua Riset Grup Pengakajian Energi UI Widodo Wahyu Purwanto mengatakan pemerintah perlu memberikan subsidi untuk penelitian dan pengembangan supaya bisa menghasilkan EBT yang berkualitas. "Sekarang sudah era industri 4.0, tapi kita sudah ketinggalan," kata dia.
Sedangkan, dari Pusat Studi Energi Universitas Diponogoro Agus Setyawan menganggap perlu penyempuranaan tarif listrik EBT antara badan usaha dan PLN dalam RUU agar tarifnya saling menguntungkan. "Penyempurnaan tarif kepada badan usaha kelistrikan selama harga EBT tinggi," kata dia.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Energi ITS Ali Musyafa menyoroti bagian kedua pasal delapan di RUU itu yang menyebutkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan izin dalam pembangunan pemangkit EBT. "Semestinya tidak hanya urusan perizinan, pemda ikut mendesain," kata dia.
Adapun, Pusat Kebijakan Kenergian ITB Tatang H Soerawidjaya menyarankan penggantian nama UU EBT menjadi UU Nirkarbon. Masukan lain adalah menjadikan nuklir sebagai sumber energi. “Nuklir bisa bersaing di industri energi," kata dia.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Tamsil Linrung menargetkan pembahasan RUU EBT selesai tahun ini. Pihaknya masih akan mengundang asosiasi, Direktorat Jenderal EBTKE, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, dan melakukan kunjungan baik didalam negeri ataupun luar negeri untuk melihat potensi dan pengembangan EBTKE.
(Baca: Target Energi Baru Terbarukan Terancam Gagal Tercapai)
RUU ini merupakan inisiasi dari DPR sebagai bukti komitmen terhadap Paris Agreement, yaitu untuk menurunkan emisi karbon dan meningkatan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025. "Dengan pemerintah termasuk diskusi grup yang akan kami buat dengan Dirjen Kelistrikan dan Dirjen EBTKE," kata dia.