BHP Targetkan Pengurangan Emisi Karbon Hingga 30% di 2030

Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustasi. BHP Group akan melakukan pengurangan emisi karbon sebesar 30% pada kegiatan operasionalnya di 2030.
Penulis: Sorta Tobing
11/9/2020, 14.28 WIB

Perusahaan tambang terbesar dunia, BHP Group, akan melakukan pengurangan emisi karbon sebesar 30% pada kegiatan operasionalnya di 2030. Rencana ini bakal sejalan dengan pemberian bonus untuk para eksekutifnya apabila berhasil mencapai target tersebut.

Fokus bisnis hijau BHP adalah penggunaan pasokan listrik berbahan bakar ramah lingkungan dan juga memakai armada truk berbahan bakar listrik. Tujuan akhirnya, perusahaan dapat mencapai emisi nol karbon pada 2050.

BHP juga akan mengembangkan cara mengurangi emisi karbon di industri baja dan maritimnya. Kedua industri ini menjadi penghasil polusi terbanyak. “Kami mengharapkan tindakan kami akan memicu pengurangan emisi yang lebih luas di kedya sektor tersebut,” kata Chief Executive Officer BHP Group Mike Henry, dikutip dari Reuters, Kamis (10/9).

Emisi operasional BHP yang tercatat pada laporan keuangan tahun lalu mencapai 14,2 juta ton setara karbon dioksida. Jumlahnya sekitar setengah dari perusahaan sejenis, yaitu Rio Tinto, yang mencapai 26,4 juta ton.

Pada bulan lalu, perusahaan juga mengumumkan rencana mendivestasikan beberapa aset batu baranya untuk menyeimbangkan portofolionya ke komoditas lain, seperti tembaga dan nikel. Perkiraannya kedua bahan tambang itu akan mengalami kenaikan permintaan dalam beberapa tahun ke depan.

Climate Accountability Institute merilis daftar 20 perusahaan energi yang bertanggung jawab terhadap emisi global. Periode penghitungan mulai 1965 hingga 2017. BHP berada di posisi 19, seperti terlihat pada Databoks berikut ini.

Konsentrasi Gas Rumah Catat Rekor Tertinggi

Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi mencapai rekor tertinggi tahun ini. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu lalu menunjukkan perlambatan ekonomi dan aktivitas manusia di tengah pandemi Covid-19 ternyata tak berdampak signifikan ke perbaikan iklim.

Penurunan emisi yang tajam, tapi singkat, pada awal tahun ini tidak mampu menghapus penumpukan karbon dioksida di atmosfer. Pada Juli 2020 angkanya di 414,38 bagian per juta (ppm), lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya di 411,74 ppm. Padahal, batas aman yang disepakati para ilmuwan adalah 350 ppm, yang sudah dilanggar sejak 1988.

 “Kami melihat penurunan emisi di tahun ini karena krisis Covid-19 dan isolasi (lockdown) banyak negara tapi tidak mengubah gambaran besarnya,” kata Kepala Organisasi Meteorologi Dunia Petteri Talaas kepada Reuters Television. Organisasi ini dibawa PBB dan berbasis di Jenewa, Swiss.  

Pada saat lockdown terjadi di banyak negara, yaitu April 2020, emisi gas rumah kaca turun 17% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, ketika pabrik dan kantor mulai dibuka lagi pada awal Juni, emisi lalu naik 5% dibandingkan 2019.

Ketika tingkat karbon dioksida naik, suhu global pun meningkat sekitar 1,1 derajat Celcius. Apabila suhu terus naik melebihi 1,5 atau dua derajat Celcius, dampaknya akan buruk bagi dunia, termasuk kekeringan, badai yang lebih kuat, dan permukaan air laut yang ekstrem.

Laporan tersebut merinci bagaimana perubahan iklim diperkirakan akan menempatkan ratusan juta lebih orang pada risiko banjir. Akses ke air tawar juga diproyeksikan akan memburuk. Jumlah orang yang tinggal di daerah langka air pada pertengahan abad diperkirakan mencapai 3,2 miliar, naik dari perkiraan sebelumnya sekitar 1,9 miliar orang.

Sekalipun emisi 2020 lebih rendah dari tahun lalu hingga 7%, tapi jumlahnya masih tinggi. “Apakah kita sedang menangani pandemi atau krisis iklim, jelas kita membutuhkan sains, solidaritas, dan solusi yang tegas,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, saat meluncurkan laporan tersebut di New York, Amerika Serikat.